Objektivitas vs. Keberpihakan Moral
Konsep objektivitas dalam jurnalisme kini banyak dipertanyakan. Sebagian akademisi menyebut objektivitas murni hanyalah mitos. Akan tetapi banyak jurnalis muda dalam pengakuannya yang dirangkum dari Teen Vogue, melihat netralitas sering kali justru menutupi bias struktural dan mengabaikan kelompok marjinal.
Sebaliknya, mereka mendorong jurnalisme yang lebih transparan, mengakui keberpihakan, dan menyadari posisi sosialnya. Dalam kerangka ini, keberpihakan berarti membela kepentingan publik, korban, dan mereka yang suaranya jarang terdengar.
Ketika media memilih untuk menyoroti tragedi Affan Kurniawan—pengemudi ojol yang tewas dilindas rantis Brimob, misalnya, mereka tidak sekadar memberitakan fakta. Dalam posisi ini, media sedang menyalurkan suara rakyat, menuntut akuntabilitas, dan menunjukan keberpihakan pada korban dan publik. Inilah saat media ditantang untuk berpihak bukan demi agenda tertentu, tetapi demi keadilan dan kepentingan publik.
Garis Tipis antara Fakta dan Bias
Keberpihakan tidak boleh berarti mengorbankan akurasi atau memelintir fakta demi membela pihak tertentu. Media tetap harus berpegang pada data dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, keberpihakan dalam jurnalisme seharusnya dimaknai sebagai berpihak pada kebenaran, keadilan, dan kepentingan publik, bukan pada kekuatan politik atau ekonomi tertentu.
Dengan begitu, jurnalis yang benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat bukan hanya menyalurkan suara, tetapi memastikan suara itu lantang, jernih, dan sampai kepada mereka yang berkuasa.
Netralitas absolut mungkin ideal di atas kertas, tetapi ketika kebenaran dan keadilan dipertaruhkan—misalnya seperti rangkaian demonstrasi yang terjadi di bulan Kemerdekaan Indonesia belakangan ini—sikap berani berpihak pada rakyat adalah bagian dari tanggung jawab moral jurnalisme.
Baca Juga: Demo Pati 13 Agustus 'Seharusnya' Jadi Rambu Kuning Pejabat Negara
(*)