Parapuan.co - Di era digital saat ini, aliran informasi terus mengalir tanpa henti. Hampir setiap detik, berita terbaru bermunculan di media arus utama maupun media sosial. Kondisi tersebut memang memberi kemudahan, tetapi juga membawa dampak signifikan pada kesehatan mental masyarakat.
Fenomena ini disebut juga sebagai headline stress disorder, yakni rasa stres berlebihan akibat paparan berulang terhadap berita bernuansa negatif. Istilah ini muncul seiring meningkatnya laporan masyarakat yang merasa cemas atau terbebani setiap kali mengonsumsi informasi.
Dilansir melalui laman Kompas.com, psikolog sosial, Dicky Pelupessy, Ph.D, menegaskan bahwa reaksi emosional berupa kesedihan, kecemasan, atau bahkan kemarahan saat membaca berita merupakan hal yang wajar. Menurutnya, peristiwa politik atau sosial yang besar memang mampu mengguncang perasaan, karena sifatnya tidak terjadi setiap hari.
"Ini adalah perasaan yang normal, karena peristiwa politik, apalagi yang luar biasa, tidak terjadi setiap hari, sehingga akan membangkitkan emosi negatif," katanya.
Ia menambahkan, kondisi emosional tersebut akan lebih terasa apabila seseorang sebelumnya sudah memiliki kekecewaan mendalam terhadap situasi tertentu. Kombinasi antara pengalaman pribadi dan paparan berita negatif memperkuat reaksi emosional yang muncul.
Di sisi lain, dunia media, khususnya media sosial, justru semakin sering menggunakan judul atau headline yang dramatis. Tujuannya jelas, menarik perhatian pembaca. Namun, strategi itu seringkali justru membuat pembaca terjebak pada respons emosional yang berlebihan.
Fenomena headline stress disorder kini bahkan menjadi isu global. Masyarakat di berbagai negara mulai menunjukkan gejala kelelahan informasi. Tidak sedikit yang kemudian memilih untuk menghindari berita sama sekali sebagai bentuk perlindungan diri.
Ada beberapa alasan yang mendorong perilaku menghindari berita tersebut. Pertama, karena pemberitaan dianggap terlalu negatif dan melelahkan. Kedua, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap media. Ketiga, masyarakat merasa volume berita yang beredar terlalu banyak dan membanjiri ruang perhatian mereka.
Secara ilmiah, fenomena ini sejalan dengan kecenderungan alami otak manusia. Penelitian menunjukkan, otak lebih cepat memproses informasi yang dianggap ancaman dibandingkan kabar yang bernuansa positif. Dengan kata lain, kita secara alami lebih tertarik pada hal-hal yang berpotensi membangkitkan emosi.
Baca Juga: Bijak Pakai Media Sosial, Ini Tips untuk Perempuan Hadapi Komentar Negatif