Parapuan.co - Aliansi Perempuan Indonesia kembali menggelar aksi damai di depan Gedung DPR RI, Rabu (3/9). Uniknya, ribuan massa perempuan yang hadir tampak kompak mengenakan pakaian merah muda (pink) dan hitam, serta membawa sapu lidi sebagai atribut utama aksi. Warna dan simbol tersebut digunakan bukan tanpa alasan, melainkan memiliki makna mendalam.
Pink dipilih sebagai simbol keberanian, menegaskan bahwa perempuan tidak takut menyuarakan aspirasi meski kerap diremehkan. Sementara itu, warna hitam melambangkan duka mendalam atas jatuhnya korban jiwa dalam aksi massa yang berlangsung dalam sepekan terakhir.
Sementara itu, sapu lidi dipakai sebagai lambang untuk "membersihkan" DPR dari praktik pemborosan anggaran dan perilaku tidak bermoral. Mengusung tema 'Perempuan Melawan Kekerasan Negara', aksi ini memuat sejumlah tuntutan yang disampaikan secara lantang.
Para peserta menegaskan, suara rakyat yang disalurkan melalui aksi damai merupakan jalan sah demokrasi, sehingga tidak boleh lagi dipandang sebagai ancaman atau makar.
Setidaknya, ada empat tuntutan utama yang disuarakan Aliansi Perempuan Indonesia. Pertama, meminta Presiden Prabowo menghentikan segala bentuk kekerasan negara terhadap rakyat. Kedua, mendesak DPR dan pejabat publik berhenti memboroskan uang rakyat demi kepentingan pribadi.
Ketiga, mereka menolak represifitas aparat yang sering mengkriminalisasi aksi damai. Keempat, mendesak negara memberikan keadilan nyata bagi para korban, baik korban kekerasan negara maupun korban kebijakan yang timpang. Semua tuntutan itu menggema di depan gedung parlemen yang dijaga ketat aparat kepolisian.
Asal Mula Brave Pink
Salah satu momen yang mencuri perhatian publik adalah keberanian seorang ibu bernama Ana. Dalam video yang tersebar luas di media sosial, Ibu Ana yang mengenakan kerudung pink terlihat maju ke depan barisan aparat. Dengan gagah berani, ia mengayunkan tongkat yang dililit bendera Merah Putih sambil berteriak menolak tunjangan fantastis anggota DPR.
Tindakan heroiknya membuat warganet kagum sekaligus terenyuh. Seorang ibu sederhana justru berdiri di garis depan untuk menyuarakan jeritan rakyat kecil. Sosoknya pun menjadi simbol baru perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan, ini menjadi asal mula warna "Brave Pink" digunakan saat ini.
Baca Juga: Kenapa Warna Pink dan Hijau Jadi Simbol Solidaritas dalam Kampanye 17+8?
Andi Faizah, Research & Public Education Lead dari International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), menilai keberanian Ibu Ana membawa semangat baru bagi banyak perempuan.
"Biasanya aspirasi kepada pemerintah disampaikan oleh laki-laki. Suara perempuan tidak terlalu didengar. Padahal, perempuan adalah garda terdepan, bagian dari warga dan rakyat Indonesia," ujar Andi dikutip dari laman Kompas..
Menurutnya, peran perempuan sangat vital dalam menjaga keberlangsungan kehidupan keluarga dan masyarakat. Ia menambahkan bahwa "Ketika kita lihat seorang ibu yang biasanya ada di dapur memberikan perlawanan dengan berani, tampil apa adanya dan melakukan protes terhadap pemerintah, semangat itu menular."
Perempuan Sering Terabaikan
Suara perempuan lainnya datang dari Eka, anggota Koalisi Perempuan Indonesia. Ia menekankan bahwa kaum ibu adalah kelompok yang paling rentan terdampak kebijakan tidak ideal.
Mulai dari persoalan beras oplosan, kenaikan harga tabung gas, hingga anak-anak yang mungkin sakit karena program Makan Bergizi Gratis tak terjaga kualitasnya.
Bagi Eka, yang paling menyakitkan adalah melihat kesenjangan mencolok antara keseharian rakyat dan kehidupan para wakil rakyat.
"Mereka pamer harta, tanpa sadar menunjukkan bahwa sebagian dari yang mereka miliki adalah miliki rakyat," ungkapnya dengan nada getir.
Baca Juga: Pakar Sebut 'Nonaktif' Anggota DPR Tidak Ada dalam Undang-Undang
Sementara itu, Lucia Priandarini, seorang penulis sekaligus peserta aksi, menilai demonstrasi kali ini sebagai aksi paling inklusif dan berwarna. Menurutnya, masyarakat dari berbagai latar belakang hadir dan bersatu.
"Kelompok-kelompok yang biasanya terpinggirkan juga terwakili. Ada perempuan, queer, teman-teman disabilitas, bahkan disediakan juru bahasa isyarat," jelas Rini.
Ia menambahkan, "Andai dalam keseharian pemerintah juga lebih peka terhadap kebutuhan minoritas, maka kebijakan publik akan jauh lebih adil."
Keadilan dalam Pendidikan Harus Ditegakan
Dari sisi dunia akademik, suara lantang juga datang dari Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dhia Al Uyun. Ia menegaskan perlunya perlindungan nyata bagi perempuan pekerja kampus yang kerap menghadapi diskriminasi. Menurut Dhia, keberadaan satgas kampus masih sebatas formalitas tanpa hasil nyata.
"Upah layak, kebijakan kampus yang berpihak pada kesehatan dan keselamatan kerja adalah hal mendesak. Perempuan sering mengalami diskriminasi dalam lingkungan kerja, termasuk karena faktor like and dislike," jelas Dhia.
Ia mjuga enekankan bahwa perjuangan perempuan tidak hanya di jalanan, tetapi juga di ruang-ruang akademik.
Perlindungan Warga Sipil
Sementara itu, Echa Wa’ode, Sekretaris Umum Arus Pelangi, menyoroti kondisi kebebasan sipil yang semakin menghilang. Menurutnya, negara justru gagal menjamin hak dasar warga untuk bersuara. Hal yang terlihat belakangan ini justru suara-suara kritis dibungkam dengan kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan.
Ia menekankan bahwa konstitusi Indonesia dan hukum internasional sebenarnya sudah jelas mengamanatkan perlindungan terhadap kebebasan sipil. Sayangnya, dalam praktik, pemerintah lebih sering menggunakan pendekatan represif yang merugikan rakyat.
Dengan ini, aksi protes kali ini menjadi simbol kuat perjuangan perempuan. Aliansi Perempuan Indonesia diharapkan akan terus menegakkan keadilan dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat. Ini seolah menegaskan bahwa perlawanan bukan sekadar simbolik, melainkan gerakan panjang agar suara rakyat tidak dibungkam.
Baca Juga: Mengapa Suara Perempuan Penting dalam Narasi Demonstrasi di Indonesia?
(*)
Putri Renata