Parapuan.co - Di era digital seperti sekarang, media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi cerita dan informasi. Terkadang, media sosial juga menjadi ajang menampilkan pencapaian, gaya hidup, dan berbagai hal yang dianggap membanggakan.
Fenomena tersebut lebih dikenal dengan istilah flexing, yaitu memamerkan sesuatu dengan tujuan mendapatkan perhatian, pengakuan, atau validasi dari orang lain.
Secara tak disengaja, Kawan Puan pasti pernah melihat seseorang yang memamerkan liburan mewah, koleksi barang branded, atau keberhasilan karier.
Merujuk dari laman Hindustan Times, fenomena flexing ini menarik untuk dibahas karena mencerminkan tren sosial dan psikologis masyarakat modern. Tidak sedikit orang melakukan flexing tanpa sadar, sekadar mengikuti arus atau tren, sementara ada juga yang melakukannya secara sengaja untuk membangun citra tertentu.
Menariknya, flexing tidak selalu berkaitan dengan sesuatu yang benar-benar mewah, karena terkadang hal-hal sederhana pun bisa menjadi bahan pamer ketika ditampilkan dengan cara tertentu.
Fenomena ini tidak muncul begitu saja, melainkan berakar dari kebutuhan manusia untuk mendapatkan pengakuan sosial. Lantas, hal-hal apa saja yang sering jadi bahan flexing di media sosial dan mengapa orang melakukannya?
1. Barang Branded dan Fashion Mewah
Salah satu hal yang paling sering jadi bahan flexing adalah barang-barang branded, seperti tas desainer, sepatu edisi terbatas, jam tangan mahal, atau outfit dari brand ternama.
Media sosial membuat setiap orang merasa perlu tampil keren dan berkelas, sehingga banyak yang memamerkan barang-barang mahal sebagai simbol status sosial.
Baca Juga: 11 Perilaku yang Tampak Baik Ini Bisa Jadi Tanda Istri Tidak Bahagia
Fenomena ini terjadi karena ada persepsi bahwa memiliki barang branded berarti sukses dan mapan. Padahal, tak jarang seseorang membeli barang tersebut dengan cicilan atau tabungan habis-habisan, hanya demi menjaga gengsi di dunia maya.
2. Mobil dan Kendaraan Mewah
Pamer mobil sport, motor besar, atau kendaraan listrik terbaru adalah salah satu bentuk flexing paling umum. Banyak yang mengunggah foto di samping mobil dengan caption sederhana, padahal tujuannya jelas menunjukkan keberhasilan finansial.
Fenomena ini juga sering dimanfaatkan oleh influencer atau pebisnis online untuk membangun citra sukses, dengan harapan menarik pengikut atau pelanggan baru.
3. Kesuksesan Karier dan Penghasilan
Tidak sedikit yang memamerkan slip gaji, pencapaian promosi, atau jumlah omzet bisnis sebagai bukti keberhasilan. Flexing dalam bentuk ini sering dibungkus dengan caption motivasi, seolah-olah ingin menginspirasi, padahal sebenarnya ingin menunjukkan 'pencapaian' pribadi.
Fenomena ini juga memicu tren FOMO (Fear of Missing Out), di mana orang lain merasa tertinggal jika belum memiliki pencapaian serupa.
4. Kehidupan Romantis
Baca Juga: Mengenal Emotional Contagion, Kondisi Ketika Kita Bisa Ikut Senang atau Marah?
Bukan hanya materi, hubungan asmara pun sering dijadikan bahan flexing. Foto pasangan di lokasi romantis, hadiah mahal, hingga kejutan ulang tahun besar-besaran menjadi konten yang memikat perhatian.
Namun, sering kali yang terlihat di media sosial hanyalah potret indahnya hubungan, sementara realitas di baliknya bisa jadi jauh berbeda. Flexing cinta ini menciptakan standar tidak realistis yang kadang membuat orang lain merasa minder.
Fenomena flexing di media sosial menunjukkan bagaimana platform digital memengaruhi cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Flexing bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah, karena kadang bisa menjadi motivasi untuk berkembang.
Namun, ketika dilakukan secara berlebihan, flexing justru bisa memicu perasaan minder, iri, bahkan ketidakpuasan terhadap hidup sendiri.
Baca Juga: Apa yang Bisa Dilakukan Jika Kita Bosan Membacakan Buku untuk Anak?
(*)