Parapuan.co - Menjadi orang tua di era digital jelas berbeda dengan generasi sebelumnya. Informasi datang deras, standar sosial berubah cepat, dan di tengah itu semua, banyak orang tua milenial berusaha keras "tidak mengulang pola lama" yang dulu mereka alami. Niatnya mulia: menciptakan rumah yang hangat, penuh cinta, dan jauh dari kekerasan.
Namun, tanpa disadari, ada beberapa pola asuh yang justru bisa membuat anak tumbuh dengan sikap kurang menghargai orang tua. Tidak berarti orang tua gagal, tapi penting untuk menyadari kebiasaan ini agar bisa segera dikoreksi. Berikut 11 kebiasaan yang sering dilakukan orang tua, dan dampaknya terhadap hubungan dengan anak sebagaimana melansir Your Tango!
1. Selalu Menuruti Tantrum
Membungkam tangisan anak dengan mainan, permen, atau gawai memang praktis. Tapi jika terlalu sering dilakukan, anak belajar bahwa "teriakan = hadiah". Padahal, tantrum seharusnya jadi momen belajar mengenali emosi, bukan cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
2. Membiarkan Gawai Jadi 'Pengasuh'
Tablet atau TV bisa jadi penolong sesaat, tapi kalau jadi andalan utama, anak berisiko kecanduan layar dan sulit mengatur emosi. Anak tetap butuh aktivitas fisik, interaksi nyata, dan stimulasi kreatif dari orang tua.
3. Terlalu Jadi 'Teman' daripada Orang Tua
Dekat dengan anak itu baik, tapi kalau batas antara "orang tua" dan "teman sebaya" kabur, anak bisa merasa tidak ada figur otoritas di rumah. Anak butuh tahu siapa yang bertanggung jawab memberi arah dan batasan.
4. Membandingkan atau Memfavoritkan Anak
Baca Juga: Cara Menghadapi Mertua yang Selalu Membandingkan Gaya Parenting
Perasaan "kamu lebih disayang adik/kakak" bisa meninggalkan luka panjang. Anak yang merasa tidak adil bisa melawan aturan hanya untuk mencari perhatian.
5. Membiarkan Anak Mengatur Jam Tidur
Konsistensi tidur adalah dasar disiplin. Jika orang tua selalu menyerah pada rengekan "mau tidur lebih malam", anak belajar bahwa aturan bisa dinegosiasikan hanya dengan merengek.
6. Tidak Melibatkan Anak dalam Tugas Rumah
Banyak orang tua merasa lebih cepat jika mengerjakan semuanya sendiri. Tapi anak yang tidak terbiasa membantu justru tumbuh dengan rasa entitled, tidak peka terhadap kebutuhan rumah tangga, dan kurang empati.
7. Tak Pernah Mengucapkan 'Tidak'
Lingkungan positif memang penting, tapi anak juga perlu belajar menerima kekecewaan. Jika semua permintaan dikabulkan, mereka sulit mengelola emosi ketika menghadapi penolakan di luar rumah.
8. Membiarkan Kebohongan Kecil
Kebohongan kecil bisa dimulai dari "sudah gosok gigi" padahal belum, sampai "sudah kerjakan PR" padahal tidak. Jika dibiarkan, anak belajar bahwa berbohong adalah strategi aman tanpa konsekuensi.
Baca Juga: Berbohong Bisa Jadi Tanda Anak Balita Makin Cerdas, Ini Kata Psikolog
9. Tidak Membiarkan Anak Mengalami Kegagalan
Niat melindungi anak dari sakit hati justru membuat mereka rapuh. Anak yang selalu "diselamatkan" orang tua tidak belajar bertanggung jawab dan bangkit saat gagal.
10. Tidak Konsisten Memberi Konsekuensi
Anak cepat belajar membaca pola. Jika ancaman hukuman hanya sebatas kata-kata, mereka tahu bahwa batasan bisa diterobos tanpa risiko.
11. Memberi 'Kesempatan Terakhir' Tanpa Henti
Kalimat "ini yang terakhir ya" akan kehilangan makna jika diulang terus tanpa tindakan nyata. Anak jadi paham bahwa ancaman orang tua bisa dinegosiasi, dan wibawa orang tua pun berkurang.
Orang tua milenial punya semangat besar untuk menciptakan pola asuh yang lebih sehat. Namun, kelembutan tanpa batasan justru bisa membuat anak tumbuh tanpa respek. Kuncinya ada pada keseimbangan: hangat, tapi tetap tegas.
Anak butuh merasa dicintai, tapi juga butuh belajar disiplin, tanggung jawab, dan menghormati aturan. Dengan begitu, mereka tumbuh menjadi pribadi yang bukan hanya bahagia, tapi juga menghargai orang tua dan orang lain.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Democratic Parenting dan Penerapannya dalam Mengasuh Anak
(*)