Parapuan.co - Pada pertengahan Agustus 2025, publik Indonesia dikejutkan dengan serangkaian tindakan anggota DPR RI yang dinilai sembrono dan jauh dari rasa empati terhadap kondisi masyarakat.
Momen viral joget DPR pada 15 Agustus, ketika sejumlah legislator tampak berjoget di kursi masing-masing usai Sidang Tahunan MPR, menjadi simbol ketidakpahaman terhadap realitas rakyat yang masih menghadapi tekanan ekonomi dan berbagai kesulitan sehari-hari.
Bukan hanya itu, pada 20 Agustus, DPR memastikan kenaikan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan per anggota. Tunjangan ini sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang dialihfungsikan.
Ucapan ini, disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Adies Kadir, yang kemudian memicu gelombang kritik tajam dari masyarakat. Tentunya, warga merasa tertohok oleh kesenjangan dramatis antara elite dan rakyat bawah.
Seiring desakan publik yang membesar, pada 25 Agustus, berbagai elemen masyarakat, yakni mahasiswa, buruh, ojol, dan warga lainnya berunjuk rasa di gerbang MPR/DPR dengan tuntutan konkret, yakni membatalkan tunjangan rumah, mengusut kejanggalan tersebut, dan menuntut reformasi anggaran negara.
Namun, apa yang dimulai sebagai protes damai berubah menjadi aksi ricuh bentrokan dengan polisi, penggunaan gas air mata, bahkan pengerahan kendaraan taktis.
Dalam kekacauan itu, tragedi menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang terlindas kendaraan Brimob. Insiden ini mencuri empati dan menjadi simbol ketidakadilan sistemik yang harus diusut tuntas.
Banyak aksi dilakukan masyarakat sebagai penghomartan atas kematian Affan Kurniawan yang secara tragis di tangan aparat negara.
Tak berhenti di situ, gelombang kontestasi terus bergulir hingga akhir Agustus. Di berbagai kota, mulai dari Bandung, Solo, Makassar, dan Surabaya, protes berubah destruktif.
Baca Juga: Status DPR Nonaktif Berbeda dengan Dipecat, Masih Terima Fasilitas Ini
Menurut penulis, perilaku sembrono para anggota DPR seperti momen joget, tunjangan fantastis di masa sulit, dan tanggapan sinis terhadap kritik, semuanya menunjukkan gap empati yang sangat fatal.
Ketika elit legislatif tidak hanya lepas dari realitas rakyat, tetapi juga tampak mengejeknya, maka protes jadi tidak terhindarkan. Misalnya Ahmad Sahroni yang terang-terangan menyebut masyarakat 'tolol'.
Ada juga konten Eko Patrio yang menampilkan sindiran di mana gaji Rp3 juta sebagai anggota DPR dalam sehari, tidak ada apa-apanya dibandingkan gajinya menjadi artis, yakni Rp84 juta sehari.
Sementara itu, Nafa Urbach yang juga setuju dengan tunjangan Rp50 juta untuk anggota DPR dan menganggapnya wajar.
Menurut penulis, dengan perilaku sembrono para elite politik ini, kelompok masyarakat merasa suaranya selama ini diabaikan hingga akhirnya mereka menggerakkan aksi massa yang besar, emosional, dan pada titik tertentu, tak terkendali.
Demonstrasi akhir Agustus bukan hanya bentuk kritik atas kebijakan DPR, tetapi bentrokan simbolik antara rakyat penuntut keadilan sosial dengan elit yang terekam sebagai penyebab keretakan demokrasi.
Penulis juga menegaskan bahwa pada Agustus 2025, di bulan Kemerdekaan, DPR RI mencatat sejarah kelam. Semua memicu demonstrasi besar-besaran, kerusuhan nasional, dan kerusakan infrastruktur publik, hingga citra demokrasi.
Rakyat menuntut pengakuan, transparansi, dan pertanggungjawaban bukan hanya untuk tunjangan Rp50 juta, tetapi untuk moral politik yang selama ini hilang.
Sebuah momentum ini diharapkan mengubah paradigma legislatif kita dari elit tertutup menjadi wakil rakyat yang benar-benar mendengar dan melayani.
Baca Juga: Viral Ibu Hijab Pink di Demo Jakarta, Mengapa Suara Perempuan Penting dalam Aksi Sosial?
(*)