Untuk itu, Komnas Perempuan menyerukan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai pedoman etis dan moral, khususnya bagi para penyelenggara negara, agar tidak bersikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat perempuan.
Komisioner Rr. Sri Agustini menambahkan bahwa falsafah Pancasila telah dituangkan dalam UUD 1945, terutama pada Pasal 28A hingga 28J, yang menjamin Hak Asasi Manusia termasuk perempuan.
Ia juga menyoroti pandangan misoginis dari sebagian penyelenggara negara yang menganggap kesetaraan gender sebagai ideologi asing. "Justru pandangan seperti itu mengecilkan makna Pancasila itu sendiri," tegas Rr. Sri Agustini.
Nilai Ketuhanan yang Maha Esa, yang tercermin dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, seharusnya menjamin kebebasan beragama. Namun, pelanggaran atas hak tersebut masih terjadi, seperti pemaksaan busana berbasis ajaran agama tertentu di sekolah dan kantor pemerintahan.
Daden Sukendar juga menyoroti meningkatnya radikalisme dan ekstremisme yang menyusup ke institusi pendidikan, rumah ibadah, hingga lembaga negara.
"Infiltrasi ini berdampak langsung pada perempuan, yang menjadi semakin rentan terhadap ancaman, kekerasan, dan diskriminasi," jelas Daden Sukendar.
Fenomena ini jelas bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjunjung nilai-nilai inklusif dan kemanusiaan.
Dengan demikian, Komnas Perempuan menegaskan kembali bahwa menjadi seorang pancasilais sejati berarti menjunjung tinggi kesetaraan dan menghormati hak-hak perempuan dalam setiap aspek kehidupan.
Baca Juga: Vasektomi Dianggap Ancaman Maskulinitas di Tengah Beban Kontrasepsi Perempuan
(*)