Parapuan.co - Fenomena meningkatnya angka gugatan cerai di kalangan guru perempuan yang baru saja diangkat sebagai ASN PPPK menuai beragam reaksi. Di tengah kabar 42 guru perempuan di Kabupaten Cianjur dan 20 guru SD di Kabupaten Blitar yang mengajukan gugatan cerai usai menerima SK pengangkatan, publik pun bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Bagi sebagian orang, perubahan status menjadi ASN PPPK dianggap memicu pergeseran dalam kehidupan rumah tangga. Namun, alih-alih menyoroti isu ini sebagai bentuk "pemberontakan", sudah waktunya kita memandangnya sebagai momen penting dalam perjalanan keberdayaan perempuan.
Bukan Soal Cerai, Tapi Soal Kesempatan untuk Memilih
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, Ruhli, mengungkapkan bahwa mayoritas penggugat adalah perempuan. Ia menyebutkan bahwa faktor ekonomi menjadi pemicu penting.
"Pemicunya ekonomi. Salah satunya karena sekarang perempuannya sudah punya kemandirian ekonomi sebagai PPPK, sehingga menggugat cerai suaminya," ucapnya dikutip dari Kompas.com.
Di sisi lain, Deny Setyawan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar menjelaskan bahwa sebagian besar guru perempuan yang mengajukan gugatan sebelumnya berstatus honorer. Setelah diangkat sebagai ASN PPPK, mereka memiliki pendapatan tetap dan kekuatan finansial yang lebih mapan.
"Memang alasan yang mereka ajukan bukan alasan ekonomi, tapi kebanyakan karena alasan sudah tidak cocok lagi dengan pasangan. Tapi fakta ini berbicara lain," katanya.
Penting untuk dicatat: perempuan yang berani mengambil keputusan besar dalam hidupnya—seperti mengakhiri pernikahan—bukan sedang "membangkang", melainkan sedang menggunakan haknya untuk memilih hidup yang lebih sehat dan bermartabat.
Keberdayaan yang Tidak Bisa Diabaikan
Baca Juga: Jangan Salah Kaprah tentang 'Izin' Agama, Perempuan Berdaya Perlu Menentang Poligami