Cerai Usai Jadi ASN PPPK, Saat Perempuan Berani Memutuskan dan Tak Lagi Takut Kehilangan

Arintha Widya - Rabu, 30 Juli 2025
Fenomena ASN PPPK gugat cerai suami, kenapa?
Fenomena ASN PPPK gugat cerai suami, kenapa? iStockphoto

Bagi sebagian perempuan, keputusan untuk berpisah bukan muncul tiba-tiba. Mungkin itu adalah hasil dari bertahun-tahun ketimpangan relasi, komunikasi yang memburuk, atau beban emosional yang tidak terselesaikan. Ketika sebelumnya mereka tidak memiliki daya tawar secara ekonomi, kini mereka memiliki sumber daya untuk bertahan dan mandiri.

Menjadi ASN PPPK memang bukan akhir dari semua masalah, namun ia menjadi titik awal baru: pintu menuju keberanian, kemerdekaan finansial, dan kepercayaan diri. Perempuan mulai berani mengatakan bahwa mereka berhak atas relasi yang setara, bukan relasi yang hanya mengandalkan pengorbanan satu pihak.

Kemandirian Bukan Ancaman

Sering kali, narasi yang muncul di sekitar kasus semacam ini bernada menyudutkan. Bahwa ketika perempuan sudah mapan, mereka meninggalkan pasangan. Narasi seperti ini tidak adil. Ia mengabaikan kenyataan bahwa relasi sehat dibangun di atas saling menghargai, bukan ketergantungan sepihak.

Justru dengan kemandirian finansial, perempuan dapat lebih jujur pada dirinya sendiri. Mereka tidak lagi dipaksa bertahan hanya karena takut "tidak bisa hidup sendiri". Mereka punya pilihan—dan itu hal yang wajar, sehat, dan sah.

Ruang untuk Bertumbuh

Dinas Pendidikan tidak punya kewenangan untuk mencegah perceraian, dan memang tidak seharusnya ada institusi yang mencoba mencegah seseorang untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya.

"Cerai itu hak setiap orang dalam berumah tangga," kata Deny Setyawan. Dalam hal ini, penting bagi masyarakat untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan yang memilih jalan berbeda, agar mereka bisa bertumbuh, bukan dihakimi.

Menyambut Fase Baru Perempuan

Fenomena ini bukan tentang meningkatnya angka perceraian semata. Ini tentang babak baru dalam hidup perempuan—khususnya mereka yang selama ini berada dalam bayang-bayang keterbatasan. Kini, mereka punya penghasilan tetap, posisi yang diakui negara, dan lebih penting lagi: keberanian untuk menentukan arah hidupnya sendiri.

Mari kita ubah cara pandang. Ini bukan tentang perpisahan semata, tapi tentang keberanian perempuan untuk memilih hidup yang lebih bermakna, dan berjalan di atas kaki mereka sendiri—tanpa takut, tanpa harus minta izin pada siapa pun.

Baca Juga: Apa Itu Mansplaining yang Bisa Berdampak pada Keberdayaan dan Kemandirian Perempuan?

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya