Parapuan.co - Dalam memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyerukan pentingnya menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pijakan utama dalam membangun bangsa yang adil, setara, dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan.
Peringatan ini tidak sekadar menjadi seremoni tahunan, tetapi momen reflektif untuk menghidupkan kembali semangat Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia, sarat dengan nilai-nilai yang mendukung keadilan dan kesetaraan gender.
Bagi Komnas Perempuan sebagaimana dikutip dari siaran pers laman resmi komnasperempuan.go.id, mengamalkan Pancasila berarti menegakkan prinsip kemanusiaan, persatuan, dan keadilan sosial yang tidak memandang jenis kelamin, suku, atau latar belakang.
Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madani, menegaskan bahwa dua sila dalam Pancasila, yaitu sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" dan sila kelima "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", menekankan pentingnya perlakuan adil dan setara bagi semua warga negara, termasuk perempuan dan kelompok dengan identitas gender beragam.
Komnas Perempuan menyoroti bahwa tujuan berbangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi seluruh warga Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menciptakan keadilan sosial. Prinsip ini sejalan dengan semangat Pancasila yang inklusif dan berkeadilan.
Komisioner Daden Sukendar menyampaikan bahwa, "Pancasila harus menjadi kompas moral dan politik dalam tata kelola negara dan kehidupan kebangsaan, khususnya dalam melindungi hak-hak perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, intoleransi, ekstremisme yang mengarah pada kekerasan, dan terorisme."
Sayangnya, kondisi di lapangan masih jauh dari harapan. Data Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan terhadap perempuan yang mencapai 445.502 kasus, meningkat hampir 10% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 330.097 adalah kekerasan berbasis gender, naik 14,17% dari tahun lalu.
Lebih memprihatinkan lagi, kasus femisida, pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya, masih marak terjadi. Dahlia Madani mengungkapkan bahwa berdasarkan pemantauan media, ada 185 kasus femisida di ranah privat atau relasi personal, serta 105 kasus di ruang publik.
"Kasus-kasus ini jauh dari cerminan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Dahlia Madani.
Baca Juga: Ini Pentingnya Peran Komunitas dalam Upaya Pemulihan Trauma Kekerasan terhadap Perempuan
Untuk itu, Komnas Perempuan menyerukan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai pedoman etis dan moral, khususnya bagi para penyelenggara negara, agar tidak bersikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat perempuan.
Komisioner Rr. Sri Agustini menambahkan bahwa falsafah Pancasila telah dituangkan dalam UUD 1945, terutama pada Pasal 28A hingga 28J, yang menjamin Hak Asasi Manusia termasuk perempuan.
Ia juga menyoroti pandangan misoginis dari sebagian penyelenggara negara yang menganggap kesetaraan gender sebagai ideologi asing. "Justru pandangan seperti itu mengecilkan makna Pancasila itu sendiri," tegas Rr. Sri Agustini.
Nilai Ketuhanan yang Maha Esa, yang tercermin dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, seharusnya menjamin kebebasan beragama. Namun, pelanggaran atas hak tersebut masih terjadi, seperti pemaksaan busana berbasis ajaran agama tertentu di sekolah dan kantor pemerintahan.
Daden Sukendar juga menyoroti meningkatnya radikalisme dan ekstremisme yang menyusup ke institusi pendidikan, rumah ibadah, hingga lembaga negara.
"Infiltrasi ini berdampak langsung pada perempuan, yang menjadi semakin rentan terhadap ancaman, kekerasan, dan diskriminasi," jelas Daden Sukendar.
Fenomena ini jelas bertentangan dengan semangat Pancasila yang menjunjung nilai-nilai inklusif dan kemanusiaan.
Dengan demikian, Komnas Perempuan menegaskan kembali bahwa menjadi seorang pancasilais sejati berarti menjunjung tinggi kesetaraan dan menghormati hak-hak perempuan dalam setiap aspek kehidupan.
Baca Juga: Vasektomi Dianggap Ancaman Maskulinitas di Tengah Beban Kontrasepsi Perempuan
(*)