Parapuan.co - Kehilangan adalah pengalaman yang universal, namun dampaknya bisa sangat berbeda antara satu orang dengan yang lain, terutama bagi perempuan. Di balik peran sosial yang kompleks, perempuan kerap dituntut untuk tetap menjalankan fungsinya meskipun sedang mengalami luka batin yang mendalam.
Dalam banyak kasus, proses berduka tidak hanya melibatkan kesedihan, tapi juga bisa berkembang menjadi gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, bahkan trauma berkepanjangan. Sayangnya, koneksi antara grief (proses berduka) dan kesehatan mental perempuan kerap luput dari perhatian.
Menurut data World Health Organization tahun 2021, depresi lebih banyak dialami oleh perempuan, dengan prevalensi dua kali lipat dibanding laki-laki. Risiko ini meningkat setelah peristiwa besar seperti kehilangan pasangan, keguguran, perceraian, atau kehilangan identitas peran, misalnya saat pensiun dari pekerjaan atau anak-anak mulai mandiri).
Faktor-faktor sosial seperti minimnya dukungan, beban pengasuhan, stigma terhadap emosi perempuan, serta internalisasi rasa bersalah menjadi pemicu utama. Dalam budaya yang memuja ketegaran perempuan, rasa duka yang dalam justru sering dianggap sebagai kelemahan.
Apa Itu 5 Stages of Grief?
Setiap orang merespons kehilangan dengan cara yang unik. Namun, untuk memahami proses ini secara lebih mendalam, Elisabeth Kübler-Ross memperkenalkan model 5 Stages of Grief dalam bukunya On Death and Dying (1969).
Dalam pengalaman perempuan, setiap tahap dalam proses ini sering kali dibalut oleh ekspektasi sosial, norma gender, dan fluktuasi hormonal, yang membuatnya menjadi lebih rumit. Memahami kelima tahap ini bukan hanya penting untuk proses penyembuhan, tetapi juga untuk menciptakan ruang empati terhadap diri sendiri.
Merangkum dari Healthline.com, inilah lima tahapan berduka, yang perlu diketahui dan mungkin dirasakan Kawan Puan.
Baca Juga: Arisan Parapuan Bahas Cara Perempuan Menyikapi Anxiety dan Depresi Menurut Psikolog
1. Denial (Penolakan)
Penolakan adalah respons awal yang muncul untuk menghalau kenyataan yang terlalu menyakitkan. Dalam tahap ini, seseorang mungkin berkata, “Ini tidak mungkin terjadi,” atau merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak.
Bagi banyak perempuan, penolakan muncul dalam bentuk produktivitas berlebihan atau pengabaian terhadap emosi sendiri. Mereka merasa harus tetap kuat demi keluarga atau pekerjaan, padahal secara batin mereka sedang membeku. Ini adalah cara pikiran melindungi diri dari realitas yang terlalu berat untuk diproses sekaligus.
2. Anger (Kemarahan)
Ketika kenyataan mulai menembus pertahanan, kemarahan dapat muncul, baik terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan Tuhan. Perempuan sering mengalami tahap ini dalam diam, karena ekspresi kemarahan dianggap tidak pantas dan dilihat tidak feminin.
Padahal, kemarahan adalah bagian penting dari proses grief. Kemarahan menunjukkan bahwa seseorang mulai menghadapi kenyataan. Jika tidak diekspresikan dengan sehat, emosi ini bisa berubah menjadi luka batin yang menetap.
3. Bargaining (Tawar-menawar)
Tahap ini biasanya ditandai dengan pikiran berandai-andai, seperti “Seandainya aku lebih perhatian,” atau “Kalau saja aku melakukan hal berbeda, ini tidak akan terjadi.” Bargaining adalah upaya untuk mengambil kembali kendali yang terasa hilang.
Perempuan kerap memikul rasa bersalah yang tidak seharusnya, karena terbiasa merasa bertanggung jawab atas emosi dan keselamatan orang lain. Pada tahap ini, mereka bisa terdorong untuk mengorbankan diri atau menekan rasa duka demi membayar apa yang tidak bisa diubah.
4. Depression (Depresi)
Ketika kenyataan sepenuhnya diterima, kesedihan mendalam mulai terasa. Depresi dapat berupa kelelahan, kehilangan minat, isolasi sosial, atau bahkan gejala fisik.
Baca Juga: Pemicu Individu Lakukan Self-Harm dan Kaitannya dengan Kesehatan Mental
Tahap ini yang paling sunyi, karena dukungan sosial biasanya mulai berkurang setelah waktu berlalu. Depresi dalam grief bukan berarti gangguan mental langsung, melainkan reaksi alamiah terhadap kehilangan. Namun, jika berlangsung terlalu lama atau mengganggu fungsi harian, perempuan berisiko mengalami complicated grief yang membutuhkan dukungan profesional.
5. Acceptance (Penerimaan)
Penerimaan bukan berarti rasa kehilangan hilang begitu saja. Namun, tentang kemampuan untuk hidup berdampingan dengan duka, menerima kenyataan tanpa mengingkari perasaan.
Dalam tahap ini, perempuan mulai merangkai ulang hidupnya, membangun makna baru, dan menyadari bahwa kehilangan adalah bagian dari pengalaman manusia. Perempuan merasakan adanya ketenangan, bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena mereka telah belajar hidup dengan luka yang kini menjadi bagian dari diri mereka.
Memahami lima tahap berduka adalah langkah awal, tapi lebih dari itu, penting bagi perempuan untuk memiliki strategi yang sehat ketika mengalaminya sendiri maupun saat menjadi pendamping bagi orang lain yang sedang berduka.
Mengutip dari Healthline.com, berikut ini panduan yang bisa Kawan Puan lakukan:
- Beri ruang untuk merasa
Emosi seperti marah, kecewa, takut, bingung, atau bahkan mati rasa adalah respons yang normal saat berduka. Banyak perempuan terbiasa menekan emosi demi tetap kuat, atau tidak merepotkan orang lain. Padahal, menolak untuk merasakan justru bisa memperpanjang luka. Beri diri izin untuk menangis, diam, atau marah, karena itu adalah bagian dari proses penyembuhan yang sehat.
- Jangan ragu mencari dukungan
Grief tidak harus dihadapi sendirian. Berbicara dengan sahabat, bergabung dalam support group, atau menemui terapis bisa membantu memproses perasaan yang rumit. Seringkali perempuan merasa bersalah karena menganggap kesedihan mereka tidak sepenting itu. Padahal, semua kehilangan, baik besar maupun kecil, layak mendapatkan ruang dan perhatian.
- Waspadai tanda bahaya
Meskipun grief adalah proses normal, ada kalanya ia berkembang menjadi gangguan serius seperti prolonged grief disorder atau depresi. Jika rasa kehilangan berlangsung lebih dari enam bulan dan mulai mengganggu kemampuan untuk bekerja, tidur, atau menikmati hidup, penting untuk mencari pertolongan profesional. Perubahan pola makan, pikiran putus asa, atau menarik diri secara sosial juga patut diwaspadai.
Baca Juga: 5 Kegiatan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Mental Perempuan Dewasa
- Rawat tubuh dengan baik
Grief tidak hanya tinggal di pikiran, tetapi juga dalam tubuh. Kelelahan, sulit tidur, dan sakit fisik sering kali menyertai proses berduka. Memastikan kebutuhan dasar seperti makan bergizi, istirahat cukup, dan aktivitas fisik ringan seperti berjalan kaki atau yoga dapat membantu menstabilkan emosi. Merawat tubuh adalah bentuk kasih sayang pada diri sendiri.
- Dukung tanpa menghakimi
Bila orang terdekatmu sedang berduka, kehadiran yang tenang dan empatik jauh lebih berharga daripada saran yang tergesa. Hindari ucapan seperti “kamu harus kuat” atau “semua akan baik-baik saja”, tetapi fokuslah untuk mendengarkan. Tawarkan bantuan konkret, seperti menemani ke terapis atau membantu pekerjaan rumah. Dan jangan lupakan perawatan diri sendiri, kamu juga butuh ruang untuk bernapas agar bisa hadir dengan sepenuh hati.
(*)
Celine Night