Mengintip Mimpi Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual di RUU TPKS

Citra Narada Putri - Rabu, 19 Januari 2022
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual.
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual. Tomwang112/iStockphoto

Baca Juga: Film Demi Nama Baik Kampus Suarakan Pentingnya Dukungan bagi Korban Kekerasan Seksual

Kendati masih pesimis dengan peradilan di tanah air terhadap korban, Shera tetap mendambakan sebuah layanan hukum, kesehatan hingga pemulihan yang bisa diakses dengan mudah oleh korban kekerasan seksual di masa depan. Ia pun berharap bahwa kelak layanan tersebut tak hanya mudah didapatkan, tapi juga ramah, sensitif, yang punya perspektif dan pro dengan korban.

“Kemudian yang lebih ideal lagi adalah tidak hanya hukuman yang berat, tapi juga konseling atau rehabilitasi untuk pelaku. Karena percuma jika sudah lama dipenjara tapi keluar tidak ada perubahan pola pikir, ia masih melihat perempuan sebagai objek seksual. Akhirnya nanti akan sama saja,” ujar Shera berharap. Pasalnya, jika nanti tidak ada usaha untuk melakukan perubahan pola pikir dan perilaku kepada pelaku, hukuman berat apapun tidak akan memberikan perubahan pada kehidupan sosial masyarakat.

Mimpi keadilan yang disampaikan Shera juga diamini oleh Eva. Bahkan berkaca dari pengalamannya, ia berharap lingkungan perkantoran seharusnya juga punya satuan tugas yang bisa melindungi korban kekerasan seksual dan aturan yang adil. “Mungkin di UU Ketenagakerjaan udah jelas yah enggak boleh ada pelecehan seksual di kantor. Tapi implementasinya di lapangan nihil. Wong perusahaannya sendiri aja enggak bisa melindungi karyawannya yang jadi korban. Jadi yah harapannya, setidaknya ada petugas khusus deh yang mengawasi kasus kayak gini dan ada hotline yang memang responsif saat dihubungi,” ujar Eva berharap.

Urgensi RUU TPKS

Di tengah semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terkuak, yang juga diiringi dengan bukti buruknya penanganan pada kasus-kasus tersebut, semakin memperjelas urgensi dari RUU TPKS untuk segera disahkan. Hal ini juga disampaikan oleh Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dan Wakil Ketua Panitia Kerja RUU TPKS saat dihubungi oleh PARAPUAN.  

“Menurut saya urgensinya luar biasa. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang tentunya membuka mata kita bahwa masalah ini kian mengkhawatirkan. (Korban kekerasan seksual) diperkosa, bunuh diri. Kita harus lebih berkaca pada hal ini,” ujar Diah. 

Pasalnya ia percaya bahwa kelak RUU ini akan mengatasi persoalan tentang bagaimana penegakkan hukum terhadap kekerasan seksual yang menurutnya masih lemah. Sehingga RUU ini akan menjadi review yang baik terhadap pendekatan dan praktek hukum terkait kekerasan seksual.

Demonstrasi penuntutan pengesahan RUU TPKS.
Demonstrasi penuntutan pengesahan RUU TPKS. DOK. KOMPAS.COM/WALDA MARISON

“Jadi kenapa urgent? Karena ini menyangkut nasib atau perjuangan memperoleh keadilan bagi banyak orang yang mengalami kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual itu bukan hanya sekadar angka, tapi kenyataan. Hal yang menurut saya paling substansial adalah bagaimana menegakkan keadilan dan negara memberikan perlindungan hukum yang adil bagi semua orang,” tambahnya lagi. 

Problematika ini, menurut Diah, adalah PR keadilan bagi semua orang, bukan hanya pada diri perempuan tapi juga laki-laki. “Ini (RUU TPKS) menurut saya bukan hanya adil bagi perempuan tapi juga laki-laki. Untuk semua warga negara Indonesia,” ujar Diah mengingatkan. 

Baca Juga: Kalis Mardiasih Ungkap 3 Hal yang Harus Dipenuhi RUU TPKS agar Bisa Disahkan

Walau tak dapat dipungkiri bahwa pembahasan RUU ini cukup panjang hingga nyaris sepuluh tahun, Diah menilai tak ada yang sia-sia. Pasalnya sepanjang perjalanan dalam memperjuangkan RUU ini banyak diskusi yang dilakukan dan telah membukakan mata banyak orang, termasuk literasi yang baik tentang kekerasan seksual. “Jadi RUU ini cukup panjang, karena ini kita harapkan bisa menjadi perubahan sosial, yang tanpa sadar juga membangun gerakan sosial,” ujar Diah berharap. 

Hal ini juga sejalan dengan pandangan Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis kesetaraan gender, yang melihat bahwa RUU TPKS ini akan membawa perubahan secara terstruktur. Bukan hanya payung hukum baru yang akan melindungi korban kekerasan seksual, tapi juga perubahan kultural masyarakat yang lebih berpihak pada korban. Menurutnya, RUU TPKS ini akan mengubah perspektif masyarakat perihal korban yang kerap dijadikan objek yang ikut bersalah karena membangkitkan hasrat atau nafsu pelaku.

“Kekerasan seksual selama ini masih disamakan dengan perzinaan, nah sekarang itu enggak, kita mau mendidik masyarakat bahwa kekerasan itu ya kekerasan, karena bentuk tindakannya ancaman, paksaan, serangan kepada tubuh, seksualitas, alat reproduksi. Kelak masyarakat mengingat bahwa kekerasan seksual adalah bentuk ancaman, paksaan, dan serangan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa, yang lebih kuat dari pada korban sehingga pelaku bisa membuat korban terancam, tak berdaya,” ujarnya menjelaskan.  

Pada Selasa, 18 Januari 2022 lalu, perjuangan panjang untuk memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual mulai terlihat titik terang. DPR akhirnya telah menyetujui RUU TPKS sebagai inisiatif DPR. Dengan demikian, pembahasan bakal berlanjut dengan pemerintah. Ini merupakan satu langkah maju proses legislasi dalam mendorong proses pembahasan RUU ini. 

Diah pun memprediksi bahwa RUU TPKS ini akan segera disahkan setidaknya pertengahan tahun 2022. Ia optimis karena menurutnya RUU TPKS sudah pada jalur yang benar. “RUU TPKS ini tetap keep on the track. Tidak ada hal yang kemudian mengganggu ini sebagai sebuah usulan inisiatif dari DPR. Jadi saya juga tidak khawatir,” papar Diah lagi.

Sambil menunggu pengesahan, Diah mengingatkan untuk masyarakat agar tidak bosan dan lelah menyuarakan, memantau dan memonitor perjalanan dari RUU TPKS ini hingga nantinya diketuk palu. Di saat yang bersamaan juga penting untuk tetap gencar melakukan edukasi dan literasi terhadap masyarakat secara umum tentang kekerasan seksual. 

“Semoga RUU ini bisa menjadi sebuah jalan refleksi atas kesalahan dalam perlakuan ketidakadilan (pada korban kekerasan seksual). Kita harapkan ini bisa menjadi sebuah UU yang tidak hanya me-review paradigma pendekatan hukum, tapi juga bisa mengantarkan keadilan dalam konteks hukum bagi korban-korban kekerasan seksual,” harap Diah.

Baca Juga: Psikolog Ungkap Peran Keluarga dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Menilik Catatan Tahunan (Catahu) 2021 dari Komnas Perempuan, angka kekerasan berdasar ranah personal menempati angka tertinggi dibanding kekerasan di ranah komunitas maupun negara. Catatan di 2021 ada 6.480 kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan personal, dan sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Namun ingat, ini hanyalah kasus yang dilaporkan saja. 

Ini seperti halnya fenomena puncak gunung es, yang mana masih banyak korban yang tak berani melaporkan kejadian dengan berbagai macam alasannya. Tekanan sosial karena dianggap aib, takut akan ancaman pelaku, merasa bersalah pada diri sendiri hingga tahu bahwa ia tak akan mendapatkan keadilan kendatipun melapor ke polisi. Bahkan menurut hasil jajak pendapat Kompas, 61,1 persen korban tidak melaporkan pelecehan seksual ke pihak berwajib karena takut distigma atau dikriminalisasi.

Kasus yang terus bertambah setiap tahunnya seharusnya bisa menyadarkan banyak pihak pentingnya payung hukum yang bisa melindungi kita dari kekerasan seksual. Tentu kita tak ingin terus terjebak dalam ketakutan yang sama. Takut merasa aman dengan tubuhnya sendiri, takut tak dapat dilindungi walau itu adalah haknya, dan takut untuk mencari keadilan.

Inilah mengapa penting untuk kita semua agar tidak pernah lelah menuntut keadilan. Bukan hanya demi kebaikan kita sendiri, tapi juga banyak korban kekerasan seksual yang menitipkan mimpinya atas keadilan dalam RUU TPKS ini.(*)

Baca Juga: Catat! Ini 15 Jenis Kekerasan Seksual yang Sering Dialami Perempuan