Mengintip Mimpi Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual di RUU TPKS

Citra Narada Putri - Rabu, 19 Januari 2022
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual.
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual. Tomwang112/iStockphoto

Belum lagi dengan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih sangat tidak adil, mendiskriminasi dan menstigma korban. Aparat hukum yang seharusnya menjadi pelindung, justru tak bisa melindungi korban yang membutuhkan bantuan. Ketidakadilan ini pun semakin membuat korban enggan untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya atau orang di sekitarnya. Hal ini seharusnya menjadi bukti kuat bahwa urgensi untuk segera mengesahkan RUU TPKS semakin besar.

Perjuangan Panjang Mendapatkan Keadilan

Tantangan dalam mendapatkan keadilan bagi korban kekerasan seksual bukanlah omong kosong belaka. Hal ini nyata terjadi dan dirasakan oleh banyak orang. Misalnya saja Eva* (bukan nama sebenarnya), pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh seniornya di kantor. Diceritakannya kepada PARAPUAN, bahwa kejadian itu terjadi tahun 2018, yang mana senior laki-lakinya melakukan candaan tak senonoh tentang Eva yang memiliki payudara besar dan bisa menjadi bintang film biru.

“Di sela-sela lembur, biasanya kita bercanda. Tapi kali itu, dia (seniornya) bercanda kelewatan. Dia meledek payudaraku besar dan cocok kalau jadi artis film porno. Aku tahu dia konteksnya cuman bercanda, tapi aku tersinggung dan sakit hati banget,” cerita Eva. Diakuinya, ketika peristiwa itu terjadi juga disaksikan dan didengar oleh rekan kerjanya. 

Eva mengaku tak berani melawan saat itu karena syok dan takut di saat yang bersamaan. “Aku kayak enggak tahu harus merespon apa gitu, kayak nge-freeze. Bingung dan syok dan takut juga karena dia senior yang dituakan di kantor. Sementara teman kantor aku juga enggak tahu harus melakukan apa. Jadinya kita cuman diam saling lihat-lihatan,” paparnya lagi.

Kejadian tersebut membuat Eva tak bisa tidur selama beberapa hari, merasa rendah diri dan tak berdaya. Sampai akhirnya ia cerita kepada sahabatnya yang mendorongnya untuk menyampaikan kejadian tersebut kepada atasan. Akhirnya Eva pun mengadukan hal tersebut pada atasan, namun respon yang didapatkan tak sesuai ekspektasi.

“Aku pikir bos akan belain, karena sebenarnya dia baik sama aku. Tapi ternyata dia bilang ‘itu kan cuman bercanda’. Menurut dia seharusnya aku enggak gampang baper. Padahal saat itu temen kerja aku juga sudah beri kesaksian,” keluh Eva. Kecewa dengan bosnya, Eva mencoba cara lain dengan mengadukan ke HR, dengan harapan keadilan bisa didapatkan. 

Namun sayang, setelah mengadukan hal tersebut, alih-alih diberikan SP, seniornya tersebut malah hanya kena teguran. Ia tak diberi sanksi apapun. Eva pun merasa tak mendapatkan keadilan yang semestinya. Di satu sisi ia juga tak berdaya melawan, mengingat peraturan di kantor dalam menangani kasus pelecehan seksual juga tidak jelas. Eva mengaku enggan membawa kasus ini ke ranah hukum, karena ia tahu hasilnya akan percuma saja.

Ketidakadilan yang dialami Eva, juga dirasakan oleh banyak korban kekerasan seksual di luar sana. Salah satunya Shera Rindra, seorang penyintas dan aktivis kesetaraan gender, yang tahu betul bagaimana sulitnya mendapatkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Hal tersebut ia alami sendiri di tahun 2003, ketika ia diperkosa oleh seorang laki-laki di sebuah hotel. Dan selama proses untuk menuntut keadilan, banyak diskriminasi, stigma hingga victim blaming yang dialami oleh Shera.  Bahkan hal tersebut dialaminya mulai dari tempat kejadian hingga ke pengadilan. 

Baca Juga: Hannah Al Rashid Singgung Etika Diskusi Kasus Kekerasan Seksual di Media Sosial