Mengintip Mimpi Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual di RUU TPKS

Citra Narada Putri - Rabu, 19 Januari 2022
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual.
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual. Tomwang112/iStockphoto

Korban kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi saat proses peradilan.
Korban kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi saat proses peradilan. DOK. KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Misal saja di tempat kejadian perkara (TKP), saat Shera melapor, ia diragukan dan dilarang pulang oleh satpam dengan alasan mereka takut tempat tersebut akan dipermasalahkan secara hukum. Sementara ketika laporan berlanjut ke Polsek setempat, Shera diminta untuk mengetik sendiri BAP dan diletakkan di ruangan yang sama dengan pelaku yang ditemani oleh ibunya. “Sementara aku tidak boleh ditemani oleh orang tuaku dengan alasan usiaku sudah 18 tahun. Padahal usia pelaku sudah 20 tahun,” ujarnya lagi. 

BAP dan tanda tangannya juga dipalsukan, dimana highlight dalam BAP tersebut menyatakan bahwa Shera menginisiasi hubungan tersebut atas dasar ‘suka sama suka’. Belum lagi kena stigma hanya karena bukti celana dalamnya berwarna merah muda dengan renda. “Mereka bilang ‘pantes aja dia nafsu sama kamu, celana dalam kamu aja seperti ini’,” kenangnya pahit.

Ketika kasus beralih ke Polres, walau sudah ada unit pelayanan khusus untuk korban perempuan dan anak, pertanyaan yang dilayangkan petugas padanya masih menyudutkan korban dan tidak relevan dengan kejadian. Misalnya seperti, ‘saat diperkosa vaginanya basah atau tidak, sudah pernah berpacaran berapa kali, atau sudah pernah berhubungan seks atau belum’. “Sampai ada pertanyaan, ‘kok bisa kamu diperkosa?’” cerita Shera lagi.

Begitu juga saat visum dengan dokter. “Padahal dokternya sesama perempuan, tapi dia memperlakukan aku seperti aku layak untuk diperkosa,” tambahnya. 

Pada akhirnya Shera berhasil membawa kasus tersebut ke pengadilan, yang mana pelaku berhasil di penjara selama lima tahun. Namun ia mengaku itu tetap tak adil, karena penetapan lima tahun penjara itu sudah termasuk dengan pasal penggunaan narkoba. “Jadi lima tahun itu bukan karena perkosaannya. Untuk perkosaannya sendiri hanya dua tahun,” ujarnya kecewa. Kekecewaan itu tak sampai di situ. Selama pelaku menjalani hukuman, ia tak benar-benar di penjara selama lima tahun, melainkan 2,5 tahun sudah keluar dengan dalih ‘berperilaku baik’.

Shera mengakui bahwa bisa dikatakan ia adalah penyintas yang punya privilege karena keluarganya memiliki koneksi ke aparat hukum. “Tapi bayangin, aku yang punya privilege aja masih diperlakukan seperti ini, apalagi korban lain yang enggak punya power? Kebanyakan dari mereka kasusnya tidak berjalan, bahkan tak jarang mereka justru malah dipenjara,” cerita Shera yang juga aktif menjadi pendamping korban-korban kekerasan seksual

Ia sendiri sering menyaksikan bagaimana proses mendapatkan keadilan oleh para korban tidak pernah ada yang berjalan sampai selesai. Berdasarkan pengamatannya, kasus sering berhenti di tengah jalan, tidak jelas arahnya, jadwal pengadilan sering kali diundur, hingga polisi atau jaksa yang menyarankan untuk damai dengan pelaku.

“Jadi tidak ada keadilan dan perlindungan hukum yang layak untuk siapapun dia yang mengalami kekerasan seksual. Kalau kasusnya tidak besar, tidak ada dukungan dari publik atau dari orang yang punya power, akan susah,” ujar Shera lagi.

Rupanya, pesimistis yang dialami oleh Eva maupun Shera terhadap perlindungan hukum yang adil bagi korban kekerasan seksual, sejalan dengan temuan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas pada November 2021 lalu. Dalam jajak pendapat tersebut diketahui bahwa sebanyak 40,2 persen dari total responden tahu bahwa aturan hukum di Indonesia belum menjamin perlakuan adil bagi perempuan di mata hukum. Sementara itu, 26,5 persen responden menyebutkan bahwa perlakuan keadilan hukum masih dilakukan setengah-setengah.