Mengintip Mimpi Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual di RUU TPKS

Citra Narada Putri - Rabu, 19 Januari 2022
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual.
RUU TPKS akan melindungi korban kekerasan seksual. Tomwang112/iStockphoto

Parapuan.co - Siti tak lagi takut pulang malam selepas kerja lembur karena tak akan ada ‘predator’ yang mengincarnya. Begitu juga dengan Aminah yang merasa aman ketika sesi bimbingan skripsi dengan dosennya, tanpa perlu khawatir dilecehkan. Sementara Mawar bisa bernapas lega karena laporan kekerasan seksual yang dialaminya ditangani dengan baik tanpa harus melewati diskriminasi, stigma hingga victim blaming dari aparat hukum. Pelaku pun dengan cepat ditangkap dan disanksi seberat-beratnya hingga membuat mereka jera. 

Melindungi Semua Warga Negara

Itulah kehidupan yang diimpikan banyak perempuan jika nantinya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan. Kehidupan yang aman dari predator, adil, tak takut untuk mengadu hingga mendapatkan perlindungan hukum yang tak menyudutkan korban.

RUU TPKS, yang sebelumnya dinamai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), memang pertama kali diinisiasikan tahun 2012 dengan tujuan untuk menciptakan sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang bersifat komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini agar semua orang bisa bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Karena tentu saja, semangat utama dari diinisiasikannya RUU ini adalah membawa perubahan hukum dalam memberikan akses keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. 

Adapun RUU ini terdiri atas 12 bab dan 73 pasal, yang masing-masing babnya mengatur ketentuan umum, tindak pidana kekerasan seksual, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. RUU TPKS juga mengatur hak korban, keluarga korban, saksi, pencegahan, koordinasi, pemantauan, hingga peraturan rehabilitasi bagi pelaku. 

Namun sayangnya, sembilan kategorisasi kekerasan seksual sempat dipangkas dari draf awal RUU PKS menjadi hanya empat yang dimasukan dalam draf RUU TPKS. Yaitu pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual dan eksploitasi seksual. Sementara bentuk kekerasan seksual seperti pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual, luput dimasukan dalam draf terbaru RUU TPKS.

Terlepas dari polemik yang muncul akibat pemangkasan draf tersebut, kita semua tentu paham bahwa RUU TPKS ini sangat dibutuhkan di tengah situasi darurat kekerasan seksual. Walau masih dibutuhkan penyempurnaan, jika nanti RUU ini disahkan bisa menjadi angin segar dan langkah awal bagi korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan.

Ada beberapa hal yang semakin memudahkan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan di dalam RUU TPKS ini. Misalnya, akan ada penambahan alat bukti dalam pemeriksaan perkara tindak pidana kekerasan seksual selain yang sudah diatur dalam KUHAP. Yaitu keterangan korban dianggap sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. 

Berbeda dengan sebelumnya, yang mana seperti dijelaskan oleh Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan, korban kekerasan seksual kerap ‘mentok’ mendapatkan keadilan karena pembuktian yang sulit didapatkan. Sebagai contoh, korban harus melakukan visum, sementara mungkin mereka baru berani menyampaikan kejadian tersebut dua tahun kemudian. Jika hal ini terjadi, maka visum tak bisa dilakukan sehingga bukti pun ikut hilang. 

Baca Juga: Kementerian PPPA Siap Susun Daftar Isian Masalah RUU TPKS Bersama DPR RI

“Tapi, kalau RUU TPKS ini isinya bisa dengan kesaksian dan ada psikolog juga. Untuk pembuktian bisa dengan psikolog, apakah korban mengalami depresi atau dilakukan hipnoterapi untuk membongkar alam bawah sadar korban agar tahu kapan kejadian itu berlangsung. Jadi tidak harus selalu (bukti) fisik,” jelas Mariana Amiruddin, Wakil Ketua Komnas Perempuan, saat dihubungi PARAPUAN.

Termasuk, keterangan korban atau saksi anak, penyandang disabilitas fisik dan sensorik mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan korban atau saksi lainnya. Maka sistem pembuktian ini pun akan membantu korban untuk menuntut keadilannya.

Lebih dari itu, dalam RUU TPKS ini juga diatur tentang hak atas restitusi dan pendampingan bagi korban dan saksi. Ini pun menjadi kemajuan karena selama ini hak restitusi lebih ditujukan hanya kepada korban tindak pindana perdagangan orang dan anak. Namun kelak, jika RUU ini disahkan, korban kekerasan seksual bisa mendapatkan hak pemulihan kondisi atau penggantian kerugian yang dialami baik secara fisik maupun mental.

Selain itu, pemidanaan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan double track system atau sistem dua jalur, yang mana hakim dalam menjatuhkan putusan bisa menggunakan dua jenis sanksi, yaitu sanksi pidana (pokok dan tambahan) dan tindakan berupa rehabilitasi. Rehabilitasi ini dilakukan untuk para pelaku agar mendorong adanya perubahan cara pandang dan perilaku mereka atas kekerasan seksual. Hal ini pun dinilai dibutuhkan, agar setelah mereka disanksi pidana, mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama. 

Itulah beberapa keadilan yang dijanjikan oleh RUU ini jika nantinya disahkan. Adapun yang menurut Mariana paling penting dari RUU TPKS ini adalah ketika ada kasus kekerasan seksual bisa tertangani dengan baik, korban dapat didampingi dan dipulihkan secara fisik dan mental, serta pelakunya diberikan efek jera dengan tindak pidana yang pantas. 

Mariana pun meyakini bahwa ketika UU ini nantinya ada, secara otomatis akan mengubah budaya. Kelak, masyarakat akan paham bahwa budaya kekerasan seksual, khususnya pada perempuan, itu tidaklah benar. Ini berbahaya bagi kehidupan setiap orang, baik dalam keluarga, sekolah, pekerjaan dan lainnya. 

Di sisi lain, anggapan bahwa RUU TPKS hanya melindungi perempuan pun dipatahkan oleh Marianna. “RUU TPKS ini melindungi setiap warga negara Indonesia. Perempuan, laki-laki, muda, tua, dari Sabang sampai Merauke, semuanya!” ujar Marianna mengingatkan. Maka seharusnya RUU ini kelak bermanfaat bagi siapapun yang menjadi korban kekerasan seksual. Pun bukan hanya perempuan saja yang menjadi korban, tapi juga laki-laki yang masih takut untuk mengadukan kejadian.

Bukan tanpa sebab, pasalnya laki-laki justru mendapatkan tekanan sosial yang tak kalah beratnya ketika mereka menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki dianggap lebih memalukan dan aib ketika mereka jadi korban. “Jadi justru dengan keberadaan UU ini nantinya akan menguntungkan laki-laki juga,” tambah Marianna. 

Maka dari itu penting untuk segera mengesahkan RUU TPKS di tengah situasi yang sudah gawat kekerasan seksual. Seperti banyaknya mahasiswi yang dilecehkan oleh dosennya di berbagai daerah, kisah pemuka agama yang memerkosa puluhan santri hingga melahirkan, hingga seorang akademi polisi yang memerkosa kekasihnya dengan mencekoki obat sampai akhirnya ia bunuh diri. Kasus-kasus yang viral ini hanyalah puncak dari gunung es. Di luar sana masih banyak korban-korban kekerasan seksual yang belum mendapatkan keadilan. 

Baca Juga: RUU TPKS Jadi Inisiatif DPR, Akan Dibahas Lebih Lanjut Bersama Pemerintah

Belum lagi dengan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih sangat tidak adil, mendiskriminasi dan menstigma korban. Aparat hukum yang seharusnya menjadi pelindung, justru tak bisa melindungi korban yang membutuhkan bantuan. Ketidakadilan ini pun semakin membuat korban enggan untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi padanya atau orang di sekitarnya. Hal ini seharusnya menjadi bukti kuat bahwa urgensi untuk segera mengesahkan RUU TPKS semakin besar.

Perjuangan Panjang Mendapatkan Keadilan

Tantangan dalam mendapatkan keadilan bagi korban kekerasan seksual bukanlah omong kosong belaka. Hal ini nyata terjadi dan dirasakan oleh banyak orang. Misalnya saja Eva* (bukan nama sebenarnya), pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh seniornya di kantor. Diceritakannya kepada PARAPUAN, bahwa kejadian itu terjadi tahun 2018, yang mana senior laki-lakinya melakukan candaan tak senonoh tentang Eva yang memiliki payudara besar dan bisa menjadi bintang film biru.

“Di sela-sela lembur, biasanya kita bercanda. Tapi kali itu, dia (seniornya) bercanda kelewatan. Dia meledek payudaraku besar dan cocok kalau jadi artis film porno. Aku tahu dia konteksnya cuman bercanda, tapi aku tersinggung dan sakit hati banget,” cerita Eva. Diakuinya, ketika peristiwa itu terjadi juga disaksikan dan didengar oleh rekan kerjanya. 

Eva mengaku tak berani melawan saat itu karena syok dan takut di saat yang bersamaan. “Aku kayak enggak tahu harus merespon apa gitu, kayak nge-freeze. Bingung dan syok dan takut juga karena dia senior yang dituakan di kantor. Sementara teman kantor aku juga enggak tahu harus melakukan apa. Jadinya kita cuman diam saling lihat-lihatan,” paparnya lagi.

Kejadian tersebut membuat Eva tak bisa tidur selama beberapa hari, merasa rendah diri dan tak berdaya. Sampai akhirnya ia cerita kepada sahabatnya yang mendorongnya untuk menyampaikan kejadian tersebut kepada atasan. Akhirnya Eva pun mengadukan hal tersebut pada atasan, namun respon yang didapatkan tak sesuai ekspektasi.

“Aku pikir bos akan belain, karena sebenarnya dia baik sama aku. Tapi ternyata dia bilang ‘itu kan cuman bercanda’. Menurut dia seharusnya aku enggak gampang baper. Padahal saat itu temen kerja aku juga sudah beri kesaksian,” keluh Eva. Kecewa dengan bosnya, Eva mencoba cara lain dengan mengadukan ke HR, dengan harapan keadilan bisa didapatkan. 

Namun sayang, setelah mengadukan hal tersebut, alih-alih diberikan SP, seniornya tersebut malah hanya kena teguran. Ia tak diberi sanksi apapun. Eva pun merasa tak mendapatkan keadilan yang semestinya. Di satu sisi ia juga tak berdaya melawan, mengingat peraturan di kantor dalam menangani kasus pelecehan seksual juga tidak jelas. Eva mengaku enggan membawa kasus ini ke ranah hukum, karena ia tahu hasilnya akan percuma saja.

Ketidakadilan yang dialami Eva, juga dirasakan oleh banyak korban kekerasan seksual di luar sana. Salah satunya Shera Rindra, seorang penyintas dan aktivis kesetaraan gender, yang tahu betul bagaimana sulitnya mendapatkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Hal tersebut ia alami sendiri di tahun 2003, ketika ia diperkosa oleh seorang laki-laki di sebuah hotel. Dan selama proses untuk menuntut keadilan, banyak diskriminasi, stigma hingga victim blaming yang dialami oleh Shera.  Bahkan hal tersebut dialaminya mulai dari tempat kejadian hingga ke pengadilan. 

Baca Juga: Hannah Al Rashid Singgung Etika Diskusi Kasus Kekerasan Seksual di Media Sosial

Korban kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi saat proses peradilan.
Korban kekerasan seksual kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi saat proses peradilan. DOK. KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Misal saja di tempat kejadian perkara (TKP), saat Shera melapor, ia diragukan dan dilarang pulang oleh satpam dengan alasan mereka takut tempat tersebut akan dipermasalahkan secara hukum. Sementara ketika laporan berlanjut ke Polsek setempat, Shera diminta untuk mengetik sendiri BAP dan diletakkan di ruangan yang sama dengan pelaku yang ditemani oleh ibunya. “Sementara aku tidak boleh ditemani oleh orang tuaku dengan alasan usiaku sudah 18 tahun. Padahal usia pelaku sudah 20 tahun,” ujarnya lagi. 

BAP dan tanda tangannya juga dipalsukan, dimana highlight dalam BAP tersebut menyatakan bahwa Shera menginisiasi hubungan tersebut atas dasar ‘suka sama suka’. Belum lagi kena stigma hanya karena bukti celana dalamnya berwarna merah muda dengan renda. “Mereka bilang ‘pantes aja dia nafsu sama kamu, celana dalam kamu aja seperti ini’,” kenangnya pahit.

Ketika kasus beralih ke Polres, walau sudah ada unit pelayanan khusus untuk korban perempuan dan anak, pertanyaan yang dilayangkan petugas padanya masih menyudutkan korban dan tidak relevan dengan kejadian. Misalnya seperti, ‘saat diperkosa vaginanya basah atau tidak, sudah pernah berpacaran berapa kali, atau sudah pernah berhubungan seks atau belum’. “Sampai ada pertanyaan, ‘kok bisa kamu diperkosa?’” cerita Shera lagi.

Begitu juga saat visum dengan dokter. “Padahal dokternya sesama perempuan, tapi dia memperlakukan aku seperti aku layak untuk diperkosa,” tambahnya. 

Pada akhirnya Shera berhasil membawa kasus tersebut ke pengadilan, yang mana pelaku berhasil di penjara selama lima tahun. Namun ia mengaku itu tetap tak adil, karena penetapan lima tahun penjara itu sudah termasuk dengan pasal penggunaan narkoba. “Jadi lima tahun itu bukan karena perkosaannya. Untuk perkosaannya sendiri hanya dua tahun,” ujarnya kecewa. Kekecewaan itu tak sampai di situ. Selama pelaku menjalani hukuman, ia tak benar-benar di penjara selama lima tahun, melainkan 2,5 tahun sudah keluar dengan dalih ‘berperilaku baik’.

Shera mengakui bahwa bisa dikatakan ia adalah penyintas yang punya privilege karena keluarganya memiliki koneksi ke aparat hukum. “Tapi bayangin, aku yang punya privilege aja masih diperlakukan seperti ini, apalagi korban lain yang enggak punya power? Kebanyakan dari mereka kasusnya tidak berjalan, bahkan tak jarang mereka justru malah dipenjara,” cerita Shera yang juga aktif menjadi pendamping korban-korban kekerasan seksual. 

Ia sendiri sering menyaksikan bagaimana proses mendapatkan keadilan oleh para korban tidak pernah ada yang berjalan sampai selesai. Berdasarkan pengamatannya, kasus sering berhenti di tengah jalan, tidak jelas arahnya, jadwal pengadilan sering kali diundur, hingga polisi atau jaksa yang menyarankan untuk damai dengan pelaku.

“Jadi tidak ada keadilan dan perlindungan hukum yang layak untuk siapapun dia yang mengalami kekerasan seksual. Kalau kasusnya tidak besar, tidak ada dukungan dari publik atau dari orang yang punya power, akan susah,” ujar Shera lagi.

Rupanya, pesimistis yang dialami oleh Eva maupun Shera terhadap perlindungan hukum yang adil bagi korban kekerasan seksual, sejalan dengan temuan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas pada November 2021 lalu. Dalam jajak pendapat tersebut diketahui bahwa sebanyak 40,2 persen dari total responden tahu bahwa aturan hukum di Indonesia belum menjamin perlakuan adil bagi perempuan di mata hukum. Sementara itu, 26,5 persen responden menyebutkan bahwa perlakuan keadilan hukum masih dilakukan setengah-setengah. 

Baca Juga: Film Demi Nama Baik Kampus Suarakan Pentingnya Dukungan bagi Korban Kekerasan Seksual

Kendati masih pesimis dengan peradilan di tanah air terhadap korban, Shera tetap mendambakan sebuah layanan hukum, kesehatan hingga pemulihan yang bisa diakses dengan mudah oleh korban kekerasan seksual di masa depan. Ia pun berharap bahwa kelak layanan tersebut tak hanya mudah didapatkan, tapi juga ramah, sensitif, yang punya perspektif dan pro dengan korban.

“Kemudian yang lebih ideal lagi adalah tidak hanya hukuman yang berat, tapi juga konseling atau rehabilitasi untuk pelaku. Karena percuma jika sudah lama dipenjara tapi keluar tidak ada perubahan pola pikir, ia masih melihat perempuan sebagai objek seksual. Akhirnya nanti akan sama saja,” ujar Shera berharap. Pasalnya, jika nanti tidak ada usaha untuk melakukan perubahan pola pikir dan perilaku kepada pelaku, hukuman berat apapun tidak akan memberikan perubahan pada kehidupan sosial masyarakat.

Mimpi keadilan yang disampaikan Shera juga diamini oleh Eva. Bahkan berkaca dari pengalamannya, ia berharap lingkungan perkantoran seharusnya juga punya satuan tugas yang bisa melindungi korban kekerasan seksual dan aturan yang adil. “Mungkin di UU Ketenagakerjaan udah jelas yah enggak boleh ada pelecehan seksual di kantor. Tapi implementasinya di lapangan nihil. Wong perusahaannya sendiri aja enggak bisa melindungi karyawannya yang jadi korban. Jadi yah harapannya, setidaknya ada petugas khusus deh yang mengawasi kasus kayak gini dan ada hotline yang memang responsif saat dihubungi,” ujar Eva berharap.

Urgensi RUU TPKS

Di tengah semakin banyak kasus kekerasan seksual yang terkuak, yang juga diiringi dengan bukti buruknya penanganan pada kasus-kasus tersebut, semakin memperjelas urgensi dari RUU TPKS untuk segera disahkan. Hal ini juga disampaikan oleh Diah Pitaloka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dan Wakil Ketua Panitia Kerja RUU TPKS saat dihubungi oleh PARAPUAN.  

“Menurut saya urgensinya luar biasa. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang tentunya membuka mata kita bahwa masalah ini kian mengkhawatirkan. (Korban kekerasan seksual) diperkosa, bunuh diri. Kita harus lebih berkaca pada hal ini,” ujar Diah. 

Pasalnya ia percaya bahwa kelak RUU ini akan mengatasi persoalan tentang bagaimana penegakkan hukum terhadap kekerasan seksual yang menurutnya masih lemah. Sehingga RUU ini akan menjadi review yang baik terhadap pendekatan dan praktek hukum terkait kekerasan seksual.

Demonstrasi penuntutan pengesahan RUU TPKS.
Demonstrasi penuntutan pengesahan RUU TPKS. DOK. KOMPAS.COM/WALDA MARISON

“Jadi kenapa urgent? Karena ini menyangkut nasib atau perjuangan memperoleh keadilan bagi banyak orang yang mengalami kekerasan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual itu bukan hanya sekadar angka, tapi kenyataan. Hal yang menurut saya paling substansial adalah bagaimana menegakkan keadilan dan negara memberikan perlindungan hukum yang adil bagi semua orang,” tambahnya lagi. 

Problematika ini, menurut Diah, adalah PR keadilan bagi semua orang, bukan hanya pada diri perempuan tapi juga laki-laki. “Ini (RUU TPKS) menurut saya bukan hanya adil bagi perempuan tapi juga laki-laki. Untuk semua warga negara Indonesia,” ujar Diah mengingatkan. 

Baca Juga: Kalis Mardiasih Ungkap 3 Hal yang Harus Dipenuhi RUU TPKS agar Bisa Disahkan

Walau tak dapat dipungkiri bahwa pembahasan RUU ini cukup panjang hingga nyaris sepuluh tahun, Diah menilai tak ada yang sia-sia. Pasalnya sepanjang perjalanan dalam memperjuangkan RUU ini banyak diskusi yang dilakukan dan telah membukakan mata banyak orang, termasuk literasi yang baik tentang kekerasan seksual. “Jadi RUU ini cukup panjang, karena ini kita harapkan bisa menjadi perubahan sosial, yang tanpa sadar juga membangun gerakan sosial,” ujar Diah berharap. 

Hal ini juga sejalan dengan pandangan Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis kesetaraan gender, yang melihat bahwa RUU TPKS ini akan membawa perubahan secara terstruktur. Bukan hanya payung hukum baru yang akan melindungi korban kekerasan seksual, tapi juga perubahan kultural masyarakat yang lebih berpihak pada korban. Menurutnya, RUU TPKS ini akan mengubah perspektif masyarakat perihal korban yang kerap dijadikan objek yang ikut bersalah karena membangkitkan hasrat atau nafsu pelaku.

“Kekerasan seksual selama ini masih disamakan dengan perzinaan, nah sekarang itu enggak, kita mau mendidik masyarakat bahwa kekerasan itu ya kekerasan, karena bentuk tindakannya ancaman, paksaan, serangan kepada tubuh, seksualitas, alat reproduksi. Kelak masyarakat mengingat bahwa kekerasan seksual adalah bentuk ancaman, paksaan, dan serangan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kuasa, yang lebih kuat dari pada korban sehingga pelaku bisa membuat korban terancam, tak berdaya,” ujarnya menjelaskan.  

Pada Selasa, 18 Januari 2022 lalu, perjuangan panjang untuk memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual mulai terlihat titik terang. DPR akhirnya telah menyetujui RUU TPKS sebagai inisiatif DPR. Dengan demikian, pembahasan bakal berlanjut dengan pemerintah. Ini merupakan satu langkah maju proses legislasi dalam mendorong proses pembahasan RUU ini. 

Diah pun memprediksi bahwa RUU TPKS ini akan segera disahkan setidaknya pertengahan tahun 2022. Ia optimis karena menurutnya RUU TPKS sudah pada jalur yang benar. “RUU TPKS ini tetap keep on the track. Tidak ada hal yang kemudian mengganggu ini sebagai sebuah usulan inisiatif dari DPR. Jadi saya juga tidak khawatir,” papar Diah lagi.

Sambil menunggu pengesahan, Diah mengingatkan untuk masyarakat agar tidak bosan dan lelah menyuarakan, memantau dan memonitor perjalanan dari RUU TPKS ini hingga nantinya diketuk palu. Di saat yang bersamaan juga penting untuk tetap gencar melakukan edukasi dan literasi terhadap masyarakat secara umum tentang kekerasan seksual. 

“Semoga RUU ini bisa menjadi sebuah jalan refleksi atas kesalahan dalam perlakuan ketidakadilan (pada korban kekerasan seksual). Kita harapkan ini bisa menjadi sebuah UU yang tidak hanya me-review paradigma pendekatan hukum, tapi juga bisa mengantarkan keadilan dalam konteks hukum bagi korban-korban kekerasan seksual,” harap Diah.

Baca Juga: Psikolog Ungkap Peran Keluarga dalam Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus

Menilik Catatan Tahunan (Catahu) 2021 dari Komnas Perempuan, angka kekerasan berdasar ranah personal menempati angka tertinggi dibanding kekerasan di ranah komunitas maupun negara. Catatan di 2021 ada 6.480 kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan personal, dan sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Namun ingat, ini hanyalah kasus yang dilaporkan saja. 

Ini seperti halnya fenomena puncak gunung es, yang mana masih banyak korban yang tak berani melaporkan kejadian dengan berbagai macam alasannya. Tekanan sosial karena dianggap aib, takut akan ancaman pelaku, merasa bersalah pada diri sendiri hingga tahu bahwa ia tak akan mendapatkan keadilan kendatipun melapor ke polisi. Bahkan menurut hasil jajak pendapat Kompas, 61,1 persen korban tidak melaporkan pelecehan seksual ke pihak berwajib karena takut distigma atau dikriminalisasi.

Kasus yang terus bertambah setiap tahunnya seharusnya bisa menyadarkan banyak pihak pentingnya payung hukum yang bisa melindungi kita dari kekerasan seksual. Tentu kita tak ingin terus terjebak dalam ketakutan yang sama. Takut merasa aman dengan tubuhnya sendiri, takut tak dapat dilindungi walau itu adalah haknya, dan takut untuk mencari keadilan.

Inilah mengapa penting untuk kita semua agar tidak pernah lelah menuntut keadilan. Bukan hanya demi kebaikan kita sendiri, tapi juga banyak korban kekerasan seksual yang menitipkan mimpinya atas keadilan dalam RUU TPKS ini.(*)

Baca Juga: Catat! Ini 15 Jenis Kekerasan Seksual yang Sering Dialami Perempuan