Parapuan.co - Kawan Puan mungkin sempat mendengar kabar soal lima anggota DPR yang kini berstatus nonaktif. Isu ini jadi sorotan publik karena menyangkut integritas lembaga legislatif, sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat.
Di sisi lain, langkah penonaktifan ini bukan tanpa alasan, melainkan karena pelanggaran etika. Kelima anggota DPR yang berstatus nonaktif yakni Adies Kadir, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), hingga Surya Utama (Uya Kuya).
Meski begitu, istilah nonaktif keanggotaan DPR sebenarnya tidak tertera dalam Undang-Undang. Agus Riwanto, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) mengatakan bahwa dalam Undang-Undang tidak dikenal istilah nonaktif bagi anggota DPR.
"Dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak dikenal istilah non-aktif bagi anggota DPR," jelas Agus dikutip dari Kompas.
Agus mengatakan bahwa pada Pasal 239, status keanggotaan DPR hanya berakhir pada kondisi atau keadaan tertentu.
"Kondisi tersebut adalah meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan partai politik, atau diberhentikan berdasarkan putusan hukum tetap," jelasnya.
Sementara itu, penonaktifan oleh partai menurut Agus hanya bersifat administratif dan internal partai.
"Penonaktifan oleh partai hanya bersifat administratif dan internal partai, bukan status formal keanggotaan DPR," jelasnya.
Hal ini membuat para anggota DPR secara hukum tetap sah menjabat sampai ada mekanisme pergantian antar waktu (PAW) sesuai Pasal 239–245 UU MD3. Agus juga mengatakan penonaktifan anggota DPR tidak otomatis menghapus hak-hak konstitusional.
Baca Juga: 5 Anggota DPR yang Dinonaktifkan per 1 September dan Kontroversi yang Dilakukan
"Penonaktifan anggotan DPR tidak menghapus hak-hak konsitutsional seperti gaji, tunjangan, dan hak politik, kecuali diproses melalui mekanisme PAW resmi," jelas Agus.
Anggota DPR yang melanggar kode etik seharusnya melakukan langkah apa?
Agus mengatakan setiap anggota DPR lebih baik mundur secara sukarela. Ia juga mengungkapkan bahwa "Secara etis, mundur sukarela lebih konsisten dengan prinsip akuntabilitas."
Sejalan dengan hal tersebut, Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Sebelas Maret (UNS), Sunny Ummul Firdaus mengatakan lebih elegan jika anggota DPR mundur secara sukarela.
"Jika kasus yang menimpa anggota DPR sifatnya pribadi dan tidak berdampak besar ke lembaga, lebih elegan mundur sukarela," jelas Sunny.
Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut (pengduran diri) akan berdampak positif seperti halnya prosedur yang lebih cepat, jelas, dan menjaga kewibawaan lembaga.
Namun, jika kasus DPR berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik berat atau tindak pidana, terdapat mekanisme lain yang jauh lebih tepat dilakukan.
"Apabila ada dugaan kasus pelanggaran etik berat atau tindak pidana (korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan lainnya), lebih tepat diberhentikan melalui mekanisme MKD/PAW. Tujuannya agar ada rekam pertanggungjawaban etik dan hukum yang jelas," pungkasnya.
Baca Juga: Status DPR Nonaktif Berbeda dengan Dipecat, Masih Terima Fasilitas Ini
(*)