Kisah nyata seperti yang dialami Nola Rodgers atau Kevin Johnson di Amerika bisa jadi inspirasi. Berawal dari pekerjaan kecil di platform seperti Taskrabbit, keduanya berhasil membangun bisnis sendiri dengan penghasilan stabil. Nola bahkan kini bisa menghasilkan ribuan dolar per bulan tanpa harus terikat perusahaan dan tanpa gelar kuliah.
Fenomena ini membuktikan bahwa wirausaha bukan lagi sekadar pilihan cadangan, melainkan strategi bertahan hidup sekaligus jalan menuju kemandirian finansial bagi generasi Z.
Bagaimana dengan Generasi Z di Indonesia?
Tren serupa sebenarnya juga terlihat di tanah air. Banyak anak muda yang sulit mendapat pekerjaan tetap akhirnya beralih menjadi reseller, membuka usaha makanan kecil, hingga memanfaatkan media sosial untuk menjual jasa. Kreativitas dan akses digital membuat mereka lebih mudah mencoba peruntungan di dunia bisnis.
Namun, membangun usaha tentu bukan tanpa risiko. Tantangan modal, persaingan ketat, hingga ketidakpastian penghasilan tetap harus dihadapi. Meski begitu, dengan dukungan teknologi dan jejaring digital, generasi Z punya peluang lebih besar untuk bereksperimen dibanding generasi sebelumnya.
Apakah Memulai Usaha Jadi Solusi?
Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak—tergantung kesiapan individu. Bagi sebagian generasi Z, usaha bisa jadi jalan keluar dari sulitnya mencari kerja. Tetapi penting untuk diingat bahwa membangun usaha butuh mental tahan banting, kemampuan mengelola risiko, dan kesediaan belajar dari kegagalan.
Yang jelas, semakin banyak anak muda kini tidak hanya menunggu peluang kerja, tetapi menciptakan peluangnya sendiri. Bagi generasi Z, inilah saatnya menulis ulang definisi “bekerja” sesuai dengan nilai dan gaya hidup mereka.
Baca Juga: 7 Skill Ini Perlu Dimiliki untuk Bertahan di Era Sulit Mencari Kerja
(*)