Tantangan terbesar bagi sebagian orang adalah rasa takut ketinggalan informasi atau fear of missing out (FOMO). Ketika tidak membuka media sosial, ada kekhawatiran mereka tidak mengetahui tren terkini atau kabar penting dari teman. Inilah yang membuat sebagian orang harus menyiapkan strategi agar tetap bisa terkoneksi tanpa kembali terjebak dalam kebiasaan lama.
Meski ada potensi kerugian, manfaat jangka panjang dari digital detox dinilai lebih signifikan. Manfaat tersebut dapat dikaitkan dengan pencegahan fenomena yang disebut “demensia digital” yaitu kondisi ketika penggunaan perangkat secara berlebihan memicu penurunan daya ingat, konsentrasi, dan fokus. Mengurangi paparan teknologi menjadi langkah preventif yang semakin relevan di masa kini.
Baca Juga: 5 Cara Efektif untuk Gen Z Beristirahat dari Penggunaan Media Sosial
Lantas siapa saja yang cocok mencoba digital detox? Jawabannya, hampir semua orang. Baik pekerja kantoran, pelajar, maupun orang tua bisa menjajal metode ini sesuai kapasitas masing-masing. Bahkan, beberapa keluarga kini mencoba melakukannya bersama-sama agar waktu berkualitas tidak lagi terganggu oleh notifikasi ponsel.
Bentuk penerapan digital detox juga bisa beragam. Seseorang bisa tetap memakai aplikasi penting untuk komunikasi atau pekerjaan, sambil memblokir media sosial yang dianggap mengganggu. Ada juga yang menetapkan jam tertentu dalam sehari sebagai zona bebas ponsel, misalnya saat makan malam atau menjelang tidur.
Apakah Kamu Membutuhkan Digital Detox?
Indikasi bahwa seseorang membutuhkan digital detox bisa dilihat dari kebiasaannya. Misalnya, lebih memilih menatap layar ponsel dibanding bercengkerama dengan keluarga, sering menunda pekerjaan karena sibuk di media sosial, hingga merasa gelisah ketika tidak memegang gawai. Semua gejala ini menunjukkan perlunya mengambil jeda.
Untuk memulai, ada beberapa langkah yang bisa Kawan Puan ikuti. Seperti membatasi aplikasi dengan pengatur waktu, menghapus platform tertentu, hingga membiasakan membaca buku fisik bisa menjadi alternatif. Hal kecil seperti menjauhkan ponsel saat makan atau mengganti alarm digital dengan jam analog juga cukup efektif.
Tidak kalah penting, aktivitas pengganti perlu disiapkan agar waktu yang biasanya dihabiskan di depan layar tidak menimbulkan kebosanan. Menekuni hobi, berolahraga, atau sekadar berjalan-jalan di ruang terbuka mampu mengisi kekosongan sekaligus memberi pengalaman baru yang lebih sehat.
Ada pula yang menggunakan momen digital detox untuk mempererat hubungan sosial secara langsung. Alih-alih mengobrol lewat chat, mereka memilih bertemu tatap muka. Kehangatan interaksi nyata ini diyakini mampu mengurangi perasaan kesepian yang mungkin muncul saat memutus akses dari dunia maya.
Meski masih terbilang tren baru, banyak komunitas mulai mengampanyekan pentingnya digital detox. Bentuk kegiatan seperti workshop, seminar, hingga tantangan daring digelar untuk mengajak orang mengurangi waktu layar. Fenomena ini semakin populer seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental di era digital.
Digital detox bukan hanya sekadar gaya hidup, melainkan kebutuhan di tengah masyarakat modern. Setiap individu memiliki pola penggunaan teknologi yang berbeda, sehingga pendekatan yang tepat juga perlu disesuaikan. Apa pun bentuknya, yang terpenting adalah menemukan keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata.
Seiring perkembangan teknologi yang semakin canggih, tantangan menjaga diri dari kecanduan layar memang tidak mudah. Namun, dengan kesadaran yang terus tumbuh, digital detox diyakini bisa menjadi jalan keluar untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang, sehat, dan penuh makna.
Baca Juga: Ini Cara Mengoptimalkan Kualitas Istirahat dengan Lampu Pintar
(*)
Putri Renata