“Dulu kami menenun hanya untuk dipakai sendiri. Sekarang, orang luar tahu. Mereka datang, mereka beli. Dari hasil tenun, kami bisa sekolahkan anak, dan membeli kebutuhan dapur seperti garam, minyak, kopi, dan lainnya yang tidak kami dapatkan dari ladang atau hutan. Itu bikin hati kami senang, karena akhirnya tenun kami dihargai,” ungkap Christina.
Perempuan berdaya, warisan terjaga
/photo/2025/08/07/123jpg-20250807054600.jpg)
Selain pelestarian, regenerasi menjadi bagian penting dalam program ini. Banyak penenun muda, seperti Lia Wandira (21), mulai menekuni kembali tenun. Ia melakukannya bukan karena terpaksa, melainkan rasa bangga terhadap tenun Iban.
Lia juga aktif mendokumentasikan kehidupan adat dan teknik menenun di media sosial instagramnya yang bernama @lensalaukrugun__. Lia bahkan menjadi pengajar aktif bagi anak-anak penenun ketika mereka sedang tidak bersekolah atau ketika guru di sekolah berhalangan untuk hadir.
“Kalau kita tidak belajar dari sekarang, siapa lagi? Tenun juga bukan hanya kain, melainkan jati diri kami. Kalau (tenun Iban) hilang, kami hilang,” ungkap Lia.
Kini, kain-kain Iban tak lagi diam di peti atau hanya dikenakan saat upacara adat. Mereka tampil dalam bentuk busana siap pakai, dikenal di kota, dan menjadi pembicaraan lintas generasi.
Namun yang lebih penting, perempuan-perempuan Iban kini kembali percaya bahwa apa yang mereka warisi dari leluhur masih berarti dan masih berharga. Melalui program Aram Bekelala Tenun Iban, mereka tidak hanya turut melestarikan budaya dan lingkungan, tetapi juga memperoleh dukungan peningkatan ekonomi untuk keluarga mereka dari hasil tenun yang kian berkembang.
“Saya hanya ingin mereka tahu, bahwa mereka tidak sendirian,” ujar Tasya.
Setiap benang yang dijalin, setiap motif yang dihidupkan adalah bukti nyata bahwa ketika perempuan saling menguatkan, budaya tak hanya bisa dilestarikan, tetapi juga bisa berkembang dan menjadi cahaya untuk masa depan.