Advertorial

Menenun Masa Depan: Kisah Tenun Iban dan Perempuan Inspiratif di Baliknya

Yasmin FE - Kamis, 7 Agustus 2025
Tasya Widyakrisnadi, Ketua Yayasan Kawan Lama, berbincang dengan penenun Iban
Tasya Widyakrisnadi, Ketua Yayasan Kawan Lama, berbincang dengan penenun Iban DOK. Kawan Lama Group

Parapuan.co - Di tengah bentang hutan lebat Kalimantan Barat, di antara dusun-dusun terpencil yang terpisah oleh sungai dan jalan tanah, sekelompok perempuan Dayak Iban duduk di depan alat tenun mereka.

Tangan-tangan mereka yang sabar menganyam benang. Mereka tidak hanya sedang menciptakan kain, tetapi juga merajut warisan. Warisan yang nyaris pudar, tapi kini perlahan hidup kembali.

Di balik kebangkitan itu, ada sosok perempuan lain yang juga bekerja dalam diam. Bukan dari dusun, tapi dari ibu kota. Namun ia memilih untuk tidak hanya mengatur dari balik meja.

Ia datang langsung ke desa-desa, menyapa para penenun, mendengar cerita mereka, bahkan ikut mempelajari makna di balik setiap motif tenun Iban.

Perempuan itu bernama Tasya Widyakrisnadi, Direktur Kawan Lama Group sekaligus Ketua Yayasan Kawan Lama.

“Saat pertama kali menginjakan kaki di Kapuas Hulu, saya tahu tempat ini istimewa,” kisahnya.

Proses pencucian benang dengan pewarna alami sebelum menenun yang masih dilestarikan perempuan iban
Proses pencucian benang dengan pewarna alami sebelum menenun yang masih dilestarikan perempuan iban DOK. National Geographic Indonesia

Dukungan tersebut diwujudkan Tasya dalam program “Aram Bekelala Tenun Iban”, yang berarti Mari Berkenalan dengan tenun Iban.

“Inisiatif ini sudah memasuki fase ketiga sejak diluncurkan,” tambahnya.

Tasya menekankan bahwa Aram Bekelala bukan kegiatan Tanggung Jawab Sosial (CSR) biasa. Inisiatif ini menggabungkan pelestarian budaya, pemberdayaan perempuan, dan penguatan ekonomi lokal.

“Inisiatif ini bukan hanya tentang pelatihan teknis, tapi juga sebagai ruang untuk tumbuh bersama,” jelas Tasya.

Program ini diikuti 20 perempuan penenun dari empat dusun, yakni Lauk Rugun, Mungguk, Pulan, dan Sungai Utik yang sebelumnya telah mengikuti pelatihan intensif dengan pendekatan training of trainers.

Mereka diajarkan menggunakan teknik pewarnaan alami dari bahan hutan, edukasi motif dan desain, penghitungan biaya produksi, serta bagaimana memasarkan produk mereka tanpa kehilangan nilai budaya.

Program ini tidak dijalankan sendiri. Yayasan Kawan Lama menggandeng mitra kolaborator seperti Cita Tenun Indonesia dan desainer Wilsen Willim untuk memberikan edukasi kepada para penenun, serta menjalankan inisiatif Kawan Lama Mengajar guna turut memberikan pendidikan bagi anak-anak para penenun.

Baca Juga: Lahirnya Kain Tenun Warisan Leluhur Dari Tangan Perempuan Dayak Iban

Produk hasil tenun tak hanya dijual secara lokal, tapi juga akan dipasarkan lewat Pendopo, unit bisnis Kawan Lama Group yang berperan sebagai ekosistem pendorong pengembangan budaya lokal yang mengurasi lebih dari 12.000 produk dan telah bekerja sama dengan lebih dari 300 UMKM di Nusantara. 

Kanal penjualan pun diperluas melalui solusi omnichannel Kawan Lama Group, ruparupa.

Bagi Tasya, perempuan adalah pilar keluarga dan masyarakat. Ketika perempuan diberdayakan, dampaknya meluas hingga ke anak-anak dan komunitas.

“Saya percaya bahwa pemberdayaan perempuan itu bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal martabat. Soal percaya diri. Soal membuat mereka merasa penting, dihargai, dan dibutuhkan,” tegasnya.

Apresiasi datang dari penenun senior, Christina Anyun. Ia mengingat masa ketika menenun hanya untuk kebutuhan keluarga. Tak ada yang membeli, tak ada yang benar-benar peduli.

“Dulu kami menenun hanya untuk dipakai sendiri. Sekarang, orang luar tahu. Mereka datang, mereka beli. Dari hasil tenun, kami bisa sekolahkan anak, dan membeli kebutuhan dapur seperti garam, minyak, kopi, dan lainnya yang tidak kami dapatkan dari ladang atau hutan. Itu bikin hati kami senang, karena akhirnya tenun kami dihargai,” ungkap Christina.

Perempuan berdaya, warisan terjaga

 Potret anak-anak Iban
 Potret anak-anak Iban DOK. National Geographic Indonesia

Selain pelestarian, regenerasi menjadi bagian penting dalam program ini. Banyak penenun muda, seperti Lia Wandira (21), mulai menekuni kembali tenun. Ia melakukannya bukan karena terpaksa, melainkan rasa bangga terhadap tenun Iban.

Lia juga aktif mendokumentasikan kehidupan adat dan teknik menenun di media sosial instagramnya yang bernama @lensalaukrugun__. Lia bahkan menjadi pengajar aktif bagi anak-anak penenun ketika mereka sedang tidak bersekolah atau ketika guru di sekolah berhalangan untuk hadir.

“Kalau kita tidak belajar dari sekarang, siapa lagi? Tenun juga bukan hanya kain, melainkan jati diri kami. Kalau (tenun Iban) hilang, kami hilang,” ungkap Lia.

Kini, kain-kain Iban tak lagi diam di peti atau hanya dikenakan saat upacara adat. Mereka tampil dalam bentuk busana siap pakai, dikenal di kota, dan menjadi pembicaraan lintas generasi.

Namun yang lebih penting, perempuan-perempuan Iban kini kembali percaya bahwa apa yang mereka warisi dari leluhur masih berarti dan masih berharga. Melalui program Aram Bekelala Tenun Iban, mereka tidak hanya turut melestarikan budaya dan lingkungan, tetapi juga memperoleh dukungan peningkatan ekonomi untuk keluarga mereka dari hasil tenun yang kian berkembang.

“Saya hanya ingin mereka tahu, bahwa mereka tidak sendirian,” ujar Tasya.

Setiap benang yang dijalin, setiap motif yang dihidupkan adalah bukti nyata bahwa ketika perempuan saling menguatkan, budaya tak hanya bisa dilestarikan, tetapi juga bisa berkembang dan menjadi cahaya untuk masa depan.

Penulis:
Editor: Yasmin FE