“Inisiatif ini bukan hanya tentang pelatihan teknis, tapi juga sebagai ruang untuk tumbuh bersama,” jelas Tasya.
Program ini diikuti 20 perempuan penenun dari empat dusun, yakni Lauk Rugun, Mungguk, Pulan, dan Sungai Utik yang sebelumnya telah mengikuti pelatihan intensif dengan pendekatan training of trainers.
Mereka diajarkan menggunakan teknik pewarnaan alami dari bahan hutan, edukasi motif dan desain, penghitungan biaya produksi, serta bagaimana memasarkan produk mereka tanpa kehilangan nilai budaya.
Program ini tidak dijalankan sendiri. Yayasan Kawan Lama menggandeng mitra kolaborator seperti Cita Tenun Indonesia dan desainer Wilsen Willim untuk memberikan edukasi kepada para penenun, serta menjalankan inisiatif Kawan Lama Mengajar guna turut memberikan pendidikan bagi anak-anak para penenun.
Baca Juga: Lahirnya Kain Tenun Warisan Leluhur Dari Tangan Perempuan Dayak Iban
Produk hasil tenun tak hanya dijual secara lokal, tapi juga akan dipasarkan lewat Pendopo, unit bisnis Kawan Lama Group yang berperan sebagai ekosistem pendorong pengembangan budaya lokal yang mengurasi lebih dari 12.000 produk dan telah bekerja sama dengan lebih dari 300 UMKM di Nusantara.
Kanal penjualan pun diperluas melalui solusi omnichannel Kawan Lama Group, ruparupa.
Bagi Tasya, perempuan adalah pilar keluarga dan masyarakat. Ketika perempuan diberdayakan, dampaknya meluas hingga ke anak-anak dan komunitas.
“Saya percaya bahwa pemberdayaan perempuan itu bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal martabat. Soal percaya diri. Soal membuat mereka merasa penting, dihargai, dan dibutuhkan,” tegasnya.
Apresiasi datang dari penenun senior, Christina Anyun. Ia mengingat masa ketika menenun hanya untuk kebutuhan keluarga. Tak ada yang membeli, tak ada yang benar-benar peduli.