Parapuan.co - Kawan Puan, wacana terkait Kartu Janda Jakarta kini tengah ramai diperbincangkan. Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta mengusulkan program bantuan sosial baru bernama Kartu Janda Jakarta (KJJ) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Usulan ini disampaikan dalam agenda Penyampaian Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan APBD DKI Tahun Anggaran 2025 di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (21/7/2025), seperti dikutip dari Kompas.com.
Wakil Bendahara Gerindra DKI Jakarta, Jamilah Abdul Gani, menjelaskan bahwa usulan KJJ berasal dari aspirasi masyarakat yang mereka terima saat reses. Menurutnya, program ini diharapkan menjadi bentuk perlindungan sosial yang responsif terhadap perempuan yang kehilangan pasangan dan menghadapi kesulitan ekonomi.
KJJ akan menyasar perempuan berstatus janda berusia 45–60 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Usulan ini bahkan mendapat dukungan dari anggota Fraksi PAN, Bambang Kusumanto, yang menilai ide tersebut menarik dan layak didorong.
Sejauh ini, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki berbagai bantuan sosial seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Anak Jakarta (KAJ), Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ), serta bantuan pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Antara Perlindungan dan Stigma
Jika dilihat dari tujuan awalnya, KJJ merupakan upaya positif untuk mengisi celah bantuan sosial yang mungkin belum terjangkau program lain. Perempuan berstatus janda, khususnya di usia pra-lansia, sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang berat.
Mereka mungkin kesulitan mendapat pekerjaan karena keterbatasan usia, minimnya keterampilan baru, atau beban keluarga yang besar. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penamaan dan sasaran program ini justru berpotensi menstigmatisasi?
Label “kartu janda” bisa saja memperkuat stereotip atau diskriminasi terhadap perempuan yang kehilangan pasangan. Alih-alih memberi martabat, ada risiko penerima bantuan justru merasa dikucilkan secara sosial.
Baca Juga: Ganti Istilah Janda Jadi Ibu Tunggal: Bentuk Penghormatan terhadap Perempuan