Mengapa Banyak Ibu Berhenti Beri ASI Eksklusif? Kuncinya Mendukung, Bukan Menghakimi

Arintha Widya - Rabu, 6 Agustus 2025
Mendukung ibu menyusui, bukan menghakimi.
Mendukung ibu menyusui, bukan menghakimi. iStockphoto

Parapuan.co - Pekan Menyusui Dunia (PMD) 2025 masih berlangsung hingga 7 Agustus. Selama waktu yang singkat ini, berbagai pihak dari pemerintah maupun swasta gencar mengampanyekan pentingnya memberikan ASI eksklusif untuk bayi, minimal di usia 0-6 bulan, dan dianjurkan berlanjut sampai anak umur 2 tahun. Namun, sejatinya kampanye menyusui perlu dilakukan setiap harinya tanpa menunggu momen-momen tertentu.

Memberikan ASI secara eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan bukan hanya anjuran medis—melainkan hak dasar anak dan bentuk cinta paling mendalam dari seorang ibu. Namun, penulis menyaksikan sendiri bahwa perjuangan menyusui sering kali tak semudah teori yang ditulis dalam buku-buku parenting atau seminar kesehatan.

Beberapa ibu di sekitar penulis terpaksa menghentikan pemberian ASI sebelum buah hatinya berusia enam bulan, bukan karena tidak tahu pentingnya, tapi karena realitas hidup yang tak mendukung mereka.

Ada yang bayinya mengalami gangguan kesehatan ketika berumur 2 bulan, kemudian sang ibu didorong oleh orang dekatnya untuk berhenti menyusui dengan berbagai alasan. Ada yang kelelahan secara fisik dan mental karena pekerjaan yang menumpuk, tak sempat memompa ASI sehingga memutuskan memberikan bayinya susu formula terlalu dini.

Bahkan, tak sedikit yang merasa bersalah karena tekanan sosial seolah menyusui adalah tanggung jawab yang harus bisa dituntaskan sempurna, meski mereka sedang berada dalam kondisi penuh keterbatasan.

Padahal, menyusui bukanlah tugas ibu seorang. Menyusui adalah kerja bersama, yang keberhasilannya sangat bergantung pada ekosistem pendukung: suami, keluarga, lingkungan kerja, fasilitas publik, bahkan kebijakan negara.

Ketika Dukungan Tidak Hadir, Ibu Gagal Menyusui Bukan Karena Tidak Mau

Sering kali, ketika ibu menghentikan ASI lebih awal, masyarakat langsung menyimpulkan bahwa ia tidak cukup berusaha. Padahal, pertanyaannya seharusnya dibalik: Sudahkah kita memberikan ruang dan dukungan bagi ibu untuk menyusui dengan optimal?

Dalam seminar Penguatan Pemberian ASI di Tempat Kerja yang digelar Kementerian Kesehatan tahun 2011 silam, sebagaimana dikutip dari laman resmi, dr. Ratna Rosita, MPH menyatakan bahwa peningkatan cakupan ASI eksklusif masih menjadi tantangan besar.

Baca Juga: Menciptakan Lingkungan Ramah Ibu Menyusui Sesuai Rekomendasi WHO

Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, cakupan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dari 0–6 bulan hanya mencapai 34,3%. Artinya, lebih dari separuh bayi di Indonesia tidak mendapatkan hak mereka akan ASI eksklusif.

Mengapa demikian? Karena realita di lapangan tidak selalu memberi ruang bagi ibu untuk menyusui dengan tenang. Banyak tempat kerja yang tidak memiliki ruang laktasi, tidak menyediakan waktu khusus untuk pumping, bahkan ada yang secara tidak langsung mengintimidasi ibu agar “fokus bekerja saja”.

Ini adalah ironi besar di negara yang jumlah pekerja perempuannya mencapai lebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 25 juta perempuan berada dalam usia reproduktif—sehingga kemungkinan besar akan mengalami proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui selama masa kerja mereka. Tapi fasilitas dan kebijakan yang mendukung menyusui masih jauh dari kata memadai.

Padahal, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128 menegaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan. Hal ini diperkuat oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 83, yang menyebutkan bahwa pekerja perempuan harus diberi kesempatan menyusui anaknya selama waktu kerja jika diperlukan.

Namun, kita tahu, pelaksanaannya belum merata. Bahkan di kota besar sekalipun, tidak semua perusahaan memahami urgensi pemberian ASI. Akibatnya, banyak ibu yang merasa frustrasi dan terpaksa berhenti di tengah jalan.

Literasi Menyusui: Modal Sosial yang Belum Dimiliki Banyak Orang

Saya percaya, salah satu cara paling efektif untuk mengubah situasi ini adalah memperluas literasi menyusui—bukan hanya untuk para ibu, tapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Literasi menyusui bukan hanya soal manfaat ASI untuk bayi, tetapi juga mencakup pemahaman tentang bagaimana proses menyusui bekerja, tantangannya, hingga pentingnya dukungan moral dan struktural.

Ketika pasangan tahu bahwa menyusui memerlukan waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra, ia akan lebih siap mendampingi. Ketika atasan dan rekan kerja tahu bahwa pumping bukan sekadar "izin ke ruang kosong", tetapi bagian dari upaya memenuhi hak anak, maka empati akan tumbuh. Ketika masyarakat luas memahami bahwa menyusui bukan sekadar "kodrat", melainkan kerja keras yang kadang penuh air mata, maka rasa hormat kepada ibu menyusui akan meningkat.

Kementerian Kesehatan juga pernah mengimbau perusahaan untuk menyediakan ruang menyusui, waktu pumping yang layak, dan bahkan penitipan anak jika memungkinkan. Ini bukan hanya soal fasilitas fisik, tetapi wujud komitmen bahwa perusahaan peduli terhadap kualitas hidup pekerjanya dan generasi masa depan.

Baca Juga: Seperti Apa Perasaan Ibu Menyusui Ketika Mendapat Dukungan dari Pasangan?

Mari Berdiri di Sisi Ibu

Jika ibu di sekitar Kawan Puan berhenti menyusui lebih cepat dari yang diharapkan, jangan langsung menyalahkan. Tanyakan dulu: apakah ia sudah mendapatkan dukungan yang dibutuhkan? Apakah tempat kerjanya mendukung? Apakah pasangannya mendampingi? Apakah lingkungannya memberi ruang untuk beristirahat dan memulihkan diri?

Karena menyusui bukan hanya kerja tubuh, tapi juga kerja hati, mental, dan dukungan sosial. Jika kita ingin anak-anak tumbuh sehat dan cerdas, kita harus mulai dengan mendukung para ibu—bukan menghakimi mereka.

Menyusui itu perjuangan. Dan setiap ibu layak mendapat ruang untuk memperjuangkannya, bukan untuk bertahan sendiri dalam sunyi. Mari jadikan dukungan terhadap ibu menyusui sebagai bagian dari budaya dan tanggung jawab kita bersama.

(*)

Sumber: kemkes.go.id
Penulis:
Editor: Arintha Widya