Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, cakupan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dari 0–6 bulan hanya mencapai 34,3%. Artinya, lebih dari separuh bayi di Indonesia tidak mendapatkan hak mereka akan ASI eksklusif.
Mengapa demikian? Karena realita di lapangan tidak selalu memberi ruang bagi ibu untuk menyusui dengan tenang. Banyak tempat kerja yang tidak memiliki ruang laktasi, tidak menyediakan waktu khusus untuk pumping, bahkan ada yang secara tidak langsung mengintimidasi ibu agar “fokus bekerja saja”.
Ini adalah ironi besar di negara yang jumlah pekerja perempuannya mencapai lebih dari 40 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 25 juta perempuan berada dalam usia reproduktif—sehingga kemungkinan besar akan mengalami proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui selama masa kerja mereka. Tapi fasilitas dan kebijakan yang mendukung menyusui masih jauh dari kata memadai.
Padahal, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128 menegaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan. Hal ini diperkuat oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 83, yang menyebutkan bahwa pekerja perempuan harus diberi kesempatan menyusui anaknya selama waktu kerja jika diperlukan.
Namun, kita tahu, pelaksanaannya belum merata. Bahkan di kota besar sekalipun, tidak semua perusahaan memahami urgensi pemberian ASI. Akibatnya, banyak ibu yang merasa frustrasi dan terpaksa berhenti di tengah jalan.
Literasi Menyusui: Modal Sosial yang Belum Dimiliki Banyak Orang
Saya percaya, salah satu cara paling efektif untuk mengubah situasi ini adalah memperluas literasi menyusui—bukan hanya untuk para ibu, tapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Literasi menyusui bukan hanya soal manfaat ASI untuk bayi, tetapi juga mencakup pemahaman tentang bagaimana proses menyusui bekerja, tantangannya, hingga pentingnya dukungan moral dan struktural.
Ketika pasangan tahu bahwa menyusui memerlukan waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra, ia akan lebih siap mendampingi. Ketika atasan dan rekan kerja tahu bahwa pumping bukan sekadar "izin ke ruang kosong", tetapi bagian dari upaya memenuhi hak anak, maka empati akan tumbuh. Ketika masyarakat luas memahami bahwa menyusui bukan sekadar "kodrat", melainkan kerja keras yang kadang penuh air mata, maka rasa hormat kepada ibu menyusui akan meningkat.
Kementerian Kesehatan juga pernah mengimbau perusahaan untuk menyediakan ruang menyusui, waktu pumping yang layak, dan bahkan penitipan anak jika memungkinkan. Ini bukan hanya soal fasilitas fisik, tetapi wujud komitmen bahwa perusahaan peduli terhadap kualitas hidup pekerjanya dan generasi masa depan.
Baca Juga: Seperti Apa Perasaan Ibu Menyusui Ketika Mendapat Dukungan dari Pasangan?
Mari Berdiri di Sisi Ibu
Jika ibu di sekitar Kawan Puan berhenti menyusui lebih cepat dari yang diharapkan, jangan langsung menyalahkan. Tanyakan dulu: apakah ia sudah mendapatkan dukungan yang dibutuhkan? Apakah tempat kerjanya mendukung? Apakah pasangannya mendampingi? Apakah lingkungannya memberi ruang untuk beristirahat dan memulihkan diri?
Karena menyusui bukan hanya kerja tubuh, tapi juga kerja hati, mental, dan dukungan sosial. Jika kita ingin anak-anak tumbuh sehat dan cerdas, kita harus mulai dengan mendukung para ibu—bukan menghakimi mereka.
Menyusui itu perjuangan. Dan setiap ibu layak mendapat ruang untuk memperjuangkannya, bukan untuk bertahan sendiri dalam sunyi. Mari jadikan dukungan terhadap ibu menyusui sebagai bagian dari budaya dan tanggung jawab kita bersama.
(*)