Evolusi Digital dan Kekuatan Public Pressure dalam Pengusutan Kasus di Era Media Sosial

Arintha Widya - Rabu, 23 Juli 2025
Evolusi digital hingga fenomena no viral no justice.
Evolusi digital hingga fenomena no viral no justice. Oleksandr Hruts

Parapuan.co - Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara masyarakat mengakses informasi dan memperjuangkan keadilan. Di era media sosial yang serba cepat, masyarakat kini lebih aktif, responsif, dan terlibat langsung dalam isu-isu sosial yang mencuat di ruang digital.

Salah satu perubahan paling signifikan adalah bagaimana kekuatan publik dalam media sosial—atau yang sering disebut public pressure—mampu mendorong pengusutan kasus-kasus yang sebelumnya diabaikan oleh aparat penegak hukum atau institusi resmi.

Menurut Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), platform yang mengadvokasi hak-hak digital dan kebebasan berekspresi, evolusi cara masyarakat berinteraksi dengan informasi kini memasuki fase baru.

"Kalau dulu sih pasti orang nyari informasi dari Google, dari search engine. Tapi belakangan ternyata orang sekarang enggak nyari informasi itu dari Google, tetapi langsung dari media sosialnya," jelas Nenden dalam wawancara bersama PARAPUAN.

Media Sosial sebagai Sumber Pencarian Informasi

Platform seperti TikTok dan X (dulu Twitter) kini menjadi semacam etalase informasi tercepat yang dikonsumsi publik. Namun, perubahan ini membawa dua sisi mata uang.

Di satu sisi, ia memberikan ruang bagi suara-suara marjinal untuk muncul dan menggalang solidaritas. Di sisi lain, media sosial juga menjadi tempat yang rawan disinformasi karena seperti yang diungkap Nenden, "semua orang bisa bikin konten. Mau konten benar, mau konten enggak, semuanya bisa ada di situ."

Lebih jauh, tantangan utama dari transformasi ini adalah bagaimana memastikan masyarakat tetap bisa memilah dan memilih informasi yang kredibel. "Itu yang menurutku menjadi sesuatu yang sangat-sangat besar tantangannya—untuk memastikan bahwa masyarakat itu bisa mendapatkan informasi yang kredibel, yang faktual, dan tentu saja bukan informasi yang sebetulnya malah direkayasa untuk propaganda," ujar Nenden lagi.

Fenomena No Viral, No Justice

Baca Juga: Nenden Sekar Arum SAFEnet Soroti Perbedaan Respon terhadap Korban KBGO

Fenomena no viral, no justice atau kalau tidak viral, tidak ditindak menjadi ironi tersendiri dalam konteks keadilan sosial. Meski idealnya sistem hukum tidak boleh bergantung pada tingkat kepopuleran sebuah kasus, realitanya tekanan publik kerap menjadi pemicu utama adanya tindakan.

Dalam hal ini, media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi arena perjuangan untuk memaksa perubahan kebijakan. Namun, Nenden menekankan bahwa ini bukanlah sistem yang sehat.

"Kita tahu bahwa konsep no viral, no justice ini sesuatu yang salah sebetulnya, karena sebaiknya tidak seperti itu," paparnya. Meski demikian, ia mengakui bahwa public pressure tetap punya power yang besar dalam mendorong perubahan dan membuat isu-isu sosial mendapat perhatian serius dari pemerintah atau lembaga terkait.

Menyikapi tantangan ini, SAFEnet dalam lima tahun ke depan memiliki beberapa prioritas kerja. Pertama adalah mendorong pemerintah agar membuat dan menegakkan kebijakan yang menjamin hak-hak digital warga secara komprehensif. "Untuk memastikan bagaimana dunia digital ini tetap aman, bebas, dan juga inklusif," kata Nenden.

Kedua, SAFEnet melihat pentingnya peningkatan kapasitas masyarakat sipil, baik melalui pelatihan maupun workshop, agar setiap individu memiliki daya tahan dalam menghadapi potensi kekerasan digital.

"Orang per orang itu juga harus tahu bagaimana cara melindungi diri mereka ketika mereka tidak bisa mencari pelindungan kepada aparat penegak hukum," terang Nenden Sekar Arum.

Ketiga, memperkuat solidaritas lintas komunitas menjadi kunci. Kolaborasi antar organisasi masyarakat sipil, komunitas akar rumput, serta keterlibatan kelompok warga lainnya penting untuk menciptakan daya desak yang luas dan kolektif terhadap kebijakan publik.

"Kita perlu terus merawat bagaimana solidaritas publik dari berbagai kalangan, stakeholders, tidak hanya aktivis tapi juga grassroots dan kelompok masyarakat lainnya, yang kita rasa sangat penting untuk bisa sama-sama bersuara," tegasnya.

Dalam konteks Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di mana ruang digital kerap digunakan baik untuk advokasi maupun represi, pendekatan ini menjadi sangat krusial. Keterlibatan publik yang kritis serta keberanian bersuara di ruang digital harus didukung oleh sistem yang adil dan perlindungan yang kuat bagi korban kekerasan digital.

Transformasi digital yang terjadi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan pola pikir dan cara masyarakat membangun solidaritas. Media sosial kini bukan lagi sekadar tempat berbagi foto atau hiburan, tetapi menjadi ruang strategis untuk memperjuangkan hak, keadilan, dan perubahan sosial. Maka, menjaga agar ruang ini tetap sehat, aman, dan inklusif adalah tugas bersama yang tidak bisa ditunda.

Baca Juga: Kata Nenden SAFEnet Soal Kekerasan terhadap Jurnalis Termasuk Pelanggaran Hak Digital

(*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Arintha Widya