Victim Blaming Bahkan Datang dari Penegak Hukum, Ke Mana Korban KBGO Menuntut Keadilan?

Arintha Widya - Kamis, 17 Juli 2025
Victim Blaming Bahkan Datang dari Penegak Hukum, Ke Mana Korban KBGO Menuntut Keadilan?
Victim Blaming Bahkan Datang dari Penegak Hukum, Ke Mana Korban KBGO Menuntut Keadilan? iStockphoto

Parapuan.co - Di era digital yang serba terkoneksi, ruang daring tak lagi bisa dianggap sekadar pelengkap kehidupan sosial. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Namun, bersamaan dengan berkembangnya teknologi, muncul pula bentuk kekerasan baru yang kerap tidak terlihat, yakni Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sayangnya, hingga hari ini, keadilan bagi para korban KBGO masih sulit digapai.

Dalam rangka memperingati Hari Keadilan Internasional yang jatuh pada 17 Juli, penting untuk menilik kembali bagaimana negara dan masyarakat merespons maraknya KBGO. Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet yang banyak bergelut dengan advokasi hak digital dan kebebasan berekspreasi turut menyoroti isu KBGO.

Saat diwawancara PARAPUAN, Nenden Sekar Arum menyampaikan bahwa korban KBGO kerap menemui jalan buntu saat hendak menuntut keadilan, bahkan sejak tahap awal pelaporan. "Kalau kami melihat, memang pemerintah itu masih belum memberikan pelindungan yang menyeluruh bagi para korban KBGO ataupun korban pelanggaran hak digital secara umum," kata Nenden.

Kebijakan Belum Cukup Melindungi Korban

Keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 sempat menjadi angin segar. Namun, dalam praktiknya, UU ini belum mampu menjawab seluruh kebutuhan korban KBGO, terlebih jika menyangkut pemulihan jangka panjang atau pemrosesan hukum yang adil.

"Undang-Undang TPKS saja belum terbukti optimal untuk memulihkan korban atau memberikan keadilan," ujar Nenden. Menurutnya, aturan yang ada belum mampu melindungi secara komprehensif, baik dari sisi substansi hukum maupun pelaksanaannya di lapangan.

Aparat Hukum Minim Perspektif Korban

Salah satu tantangan besar dalam penanganan KBGO adalah minimnya kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami isu ini. Nenden mencontohkan bagaimana masih banyak polisi yang bahkan belum mengetahui keberadaan UU TPKS, apalagi memahaminya dengan sudut pandang korban.

"Kalau polisinya aja nggak tahu ada undang-undang tersebut, bagaimana dia bisa menangani korban dengan perspektif yang lebih baik?" kata Nenden. "Biasanya, kasus malah dibawa ke pasal-pasal pornografi atau pakai UU ITE hanya karena itu terjadi di dunia digital."

Baca Juga: Peran Parlemen dalam Upaya Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan

Budaya Victim Blaming Masih Subur

Bukan hanya ketidaktahuan, budaya victim blaming atau menyalahkan korban juga masih sering terjadi, bahkan dari aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat. Hal ini justru memperparah trauma korban dan membuat mereka ragu untuk melapor.

"Yang idealnya menerima aduan dan mengayomi masyarakat, malah justru menyalahkan atau men-judge korban," tegas Nenden. "Seharusnya polisi itu menerima aduan dengan empati dan tidak menghakimi korban ketika datang mencari keadilan."

Kapasitas Teknologi Tak Dimaksimalkan

Di sisi lain, keterbatasan aparat dalam hal pemahaman teknologi digital juga menjadi masalah tersendiri. Banyak pelaku KBGO menggunakan akun anonim atau menyembunyikan jejak digital, dan aparat pun sering menganggap kasus tersebut sulit dilacak.

Padahal, menurut Nenden, aparat sebenarnya punya kemampuan teknologi yang cukup—asal ada kemauan dan prioritas. "Untuk kasus lain, seperti yang menghina presiden atau ikut demo, itu kan cepat banget bisa dilacak. Tapi kenapa untuk kasus kekerasan ini, sulit sekali?"

Keadilan yang Belum Merata

Situasi ini membuat korban KBGO sering kali merasa kehilangan arah. Ke mana harus melapor? Siapa yang akan mendengarkan? Saat sistem hukum tidak hadir sepenuhnya, keadilan pun terasa jauh dari jangkauan. Sementara itu, proses pelaporan yang panjang, melelahkan, dan penuh hambatan justru membuat banyak korban memilih bungkam.

"Harusnya hal tersebut dipenuhi oleh negara. Karena itu tugasnya negara untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi warga, termasuk hak digital," tutur Nenden.

Baca Juga: Pentingnya Pendanaan Organisasi Perempuan untuk Atasi Kekerasan Berbasis Gender

Munculnya Solidaritas Warga Sipil

Namun, di tengah kekecewaan terhadap negara, muncul pula gerakan solidaritas dari masyarakat sipil. Kolektif-kolektif yang dibentuk secara independen hadir memberikan ruang aman, pendampingan, serta dukungan psikologis bagi para korban.

"Banyak sekali sekarang kolektif-kolektif yang bisa memberikan ruang aman bagi korban untuk bisa bercerita," jelas Nenden. "Kadang korban cuma ingin didengarkan, ingin curhat tanpa dihakimi."

Kolektif ini tidak hanya bekerja secara informal, tetapi juga berupaya mengisi celah yang ditinggalkan oleh sistem formal. Meski tidak bisa menjatuhkan sanksi hukum, mereka berperan besar dalam pemulihan korban serta membangun kesadaran publik tentang KBGO.

Namun demikian, keberadaan komunitas sipil bukanlah alasan bagi negara untuk melepaskan tanggung jawab. Tugas negara tetaplah utama—untuk menyediakan sistem hukum yang adil, aparat yang berpihak pada korban, dan perlindungan nyata bagi semua warga negara, tanpa terkecuali.

"Meskipun sudah ada kolektif yang kemudian bisa dituju oleh korban, bukan berarti tugas atau kewajiban negara itu berkurang," jelas Nenden.

Perlu juga diingat bahwa korban KBGO tidak terbatas pada perempuan saja. Anak-anak, remaja, bahkan laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual di ranah digital. Oleh karena itu, pendekatan hukum dan perlindungan harus inklusif dan berpihak kepada siapa pun yang mengalami kekerasan.

Hari Keadilan Internasional: Momen Refleksi

Peringatan Hari Keadilan Internasional pada 17 Juli ini seharusnya menjadi momentum bagi negara untuk merefleksikan kembali komitmennya dalam melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas rasa aman di ruang digital. Keadilan bukan hanya tentang menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tetapi juga tentang pemulihan korban dan pencegahan kekerasan di masa depan.

Perubahan yang dibutuhkan bukanlah tambal sulam, melainkan sistemik. Dibutuhkan pelatihan bagi aparat hukum, revisi regulasi yang lebih berpihak pada korban, peningkatan literasi digital masyarakat, dan ruang aman yang terus diperluas, baik daring maupun luring.

Tanpa upaya serius dari negara, korban KBGO akan terus berada dalam ketidakpastian. Mereka tidak hanya menanggung luka, tetapi juga berjuang sendirian untuk mendapatkan keadilan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender

(*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Arintha Widya