Parapuan.co - Di era digital yang serba terkoneksi, ruang daring tak lagi bisa dianggap sekadar pelengkap kehidupan sosial. Ia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari. Namun, bersamaan dengan berkembangnya teknologi, muncul pula bentuk kekerasan baru yang kerap tidak terlihat, yakni Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Sayangnya, hingga hari ini, keadilan bagi para korban KBGO masih sulit digapai.
Dalam rangka memperingati Hari Keadilan Internasional yang jatuh pada 17 Juli, penting untuk menilik kembali bagaimana negara dan masyarakat merespons maraknya KBGO. Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet yang banyak bergelut dengan advokasi hak digital dan kebebasan berekspreasi turut menyoroti isu KBGO.
Saat diwawancara PARAPUAN, Nenden Sekar Arum menyampaikan bahwa korban KBGO kerap menemui jalan buntu saat hendak menuntut keadilan, bahkan sejak tahap awal pelaporan. "Kalau kami melihat, memang pemerintah itu masih belum memberikan pelindungan yang menyeluruh bagi para korban KBGO ataupun korban pelanggaran hak digital secara umum," kata Nenden.
Kebijakan Belum Cukup Melindungi Korban
Keberadaan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022 sempat menjadi angin segar. Namun, dalam praktiknya, UU ini belum mampu menjawab seluruh kebutuhan korban KBGO, terlebih jika menyangkut pemulihan jangka panjang atau pemrosesan hukum yang adil.
"Undang-Undang TPKS saja belum terbukti optimal untuk memulihkan korban atau memberikan keadilan," ujar Nenden. Menurutnya, aturan yang ada belum mampu melindungi secara komprehensif, baik dari sisi substansi hukum maupun pelaksanaannya di lapangan.
Aparat Hukum Minim Perspektif Korban
Salah satu tantangan besar dalam penanganan KBGO adalah minimnya kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami isu ini. Nenden mencontohkan bagaimana masih banyak polisi yang bahkan belum mengetahui keberadaan UU TPKS, apalagi memahaminya dengan sudut pandang korban.
"Kalau polisinya aja nggak tahu ada undang-undang tersebut, bagaimana dia bisa menangani korban dengan perspektif yang lebih baik?" kata Nenden. "Biasanya, kasus malah dibawa ke pasal-pasal pornografi atau pakai UU ITE hanya karena itu terjadi di dunia digital."
Baca Juga: Peran Parlemen dalam Upaya Penghapusan Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan