Mewujudkan Polri yang Ramah Perempuan dan Anak: Harapan terhadap Sensitivitas Gender

Arintha Widya - Selasa, 1 Juli 2025
Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) Polri Brigjen Pol Desy Andriani di Mabes Polri, Jumat (13/12/2024).
Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) Polri Brigjen Pol Desy Andriani di Mabes Polri, Jumat (13/12/2024). (KOMPAS.COM / KIKI SAFITRI)

Parapuan.co - Setiap laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah jeritan yang meminta perlindungan, bukan sekadar penanganan hukum. Masyarakat, terutama perempuan, berharap institusi sebesar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bisa menjadi tempat pertama yang aman, bukan justru sumber rasa takut.

Di HUT Bhayangkara 2025 ini, keberadaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang diluncurkan pada semester kedua 2024 lalu menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi, namun tetap harus terus dikritisi dan senantiasa ditingkatkan kualitasnya.

Unit PPA yang berada di bawah fungsi Reserse Kriminal, secara khusus menangani kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak, hingga perdagangan manusia. Mengutip laman resmi Polda DIY, yang membuat unit ini berbeda adalah pendekatannya yang mengedepankan pendekatan ramah korban, dengan memperhatikan aspek psikologis dan trauma korban.

Tidak hanya bekerja sendiri, Unit PPA juga bekerja sama dengan lembaga lain seperti rumah sakit daerah dan dinas sosial untuk menyediakan visum dan pendampingan psikologis gratis, sebuah upaya penting dalam pemulihan trauma korban.

Meski demikian, urgensi akan peningkatan sensitivitas gender di tubuh Polri tetap menjadi sorotan. Hal tersebut pernah disinggung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi saat menunjukkan apresiasi atas diluncurkannya Unit PPA di tubuh Polri beberapa waktu lalu.

"Saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kepolisian Republik Indonesia atas dedikasi dan kontribusinya dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia," ungkap Arifah Fauzi melansir laman resmi KemenPPPA.

Namun, data tetap bicara lebih keras dari apresiasi. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.

Sementara itu, Survei Kekerasan terhadap Anak dan Remaja Nasional (SNPHAR) 2024 menunjukkan peningkatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Korban bukan sekadar statistik—mereka adalah individu yang hancur dan butuh pemulihan, bukan hanya penyelesaian hukum.

Komitmen Nyata atau Sekadar Administrasi?

Baca Juga: Upaya Polri Cegah Viktimisasi Perempuan dan Anak di Ranah Hukum

Langkah Polri membentuk Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO (Perdagangan Orang) memang menunjukkan keseriusan struktural. Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara tegas menyatakan bahwa langkah ini merupakan
"bagian dari wujud nyata bagaimana kita terus mendorong kesetaraan gender".

Penting juga bahwa Kapolri menekankan kesempatan yang setara untuk Polwan. "Tunjukkan bahwa polwan tidak kalah dengan polki, dan saya yakin tidak kalah," katanya. Sebab pada praktiknya, kehadiran Polwan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sangat krusial, karena pendekatan yang lebih empatik dan membuat korban merasa lebih nyaman untuk membuka diri.

Namun, pertanyaannya, apakah semua Polres dan Polsek telah memiliki kapasitas dan personel yang terlatih dalam perspektif gender dan trauma healing? Apakah seluruh jajaran kepolisian—terutama di daerah—benar-benar memahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksual dengan pantas dan sensitif?

Penting diingat, sensitivitas tidak bisa dibentuk hanya dengan struktur dan prosedur, tetapi juga melalui pelatihan, budaya kerja yang empatik, dan kemauan untuk mendengar.

Bukan Hanya Amanat Konstitusi, Tapi Kebutuhan Mendesak

Sebagaimana ditegaskan oleh Menteri PPPA, kesetaraan gender bukan hanya amanat konstitusi, tetapi strategi untuk memastikan seluruh warga negara bisa menikmati hak dan peluang pembangunan secara setara.

"Langkah strategis Polri dalam membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) serta Direktorat Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) merupakan bukti nyata bahwa Polri tidak hanya melaksanakan tugas perlindungan hukum, tetapi juga mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam pelayanan publik," tegasnya.

Tugas kita bersama sebagai masyarakat sipil adalah memastikan bahwa langkah ini tidak berhenti di atas kertas. Butuh pengawasan, evaluasi, dan dorongan agar pelatihan gender menjadi agenda wajib di setiap jenjang kepolisian, serta adanya mekanisme pengaduan internal jika korban justru mendapat stigma atau perlakuan buruk saat melapor.

Momentum Hari Bhayangkara: Mendengar Lebih Banyak, Menghakimi Lebih Sedikit

Baca Juga: Kata Komnas Perempuan Soal Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak di Polri

Hari Bhayangkara semestinya bukan sekadar seremonial penghormatan pada institusi kepolisian, tetapi juga refleksi bersama, apakah masyarakat—terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak—sudah merasa aman dan terlindungi?

Polri tidak bekerja sendiri. Keberhasilan menciptakan rasa aman adalah hasil sinergi antara negara, masyarakat, dan lembaga pelindung lainnya. Namun, dalam skema perlindungan perempuan dan anak, Polri tetap menjadi garda depan yang sangat menentukan apakah korban akan mendapatkan keadilan atau malah kembali terlukai.

"Dengan implementasi PUG yang semakin kuat dan program-program strategis yang dirancang dengan visi besar Indonesia Emas 2045, saya percaya bahwa Indonesia yang setara dan berkeadilan akan dapat diwujudkan," ujar Menteri PPPA, menutup pidatonya.

Dan harapan itu, kami titipkan pula kepada Polri.

(*)

Sumber: polri.go.id,kemenpppa.go.id
Penulis:
Editor: Arintha Widya