Langkah Polri membentuk Direktorat Tindak Pidana PPA dan PPO (Perdagangan Orang) memang menunjukkan keseriusan struktural. Bahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara tegas menyatakan bahwa langkah ini merupakan
"bagian dari wujud nyata bagaimana kita terus mendorong kesetaraan gender".
Penting juga bahwa Kapolri menekankan kesempatan yang setara untuk Polwan. "Tunjukkan bahwa polwan tidak kalah dengan polki, dan saya yakin tidak kalah," katanya. Sebab pada praktiknya, kehadiran Polwan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi sangat krusial, karena pendekatan yang lebih empatik dan membuat korban merasa lebih nyaman untuk membuka diri.
Namun, pertanyaannya, apakah semua Polres dan Polsek telah memiliki kapasitas dan personel yang terlatih dalam perspektif gender dan trauma healing? Apakah seluruh jajaran kepolisian—terutama di daerah—benar-benar memahami bagaimana memperlakukan korban kekerasan seksual dengan pantas dan sensitif?
Penting diingat, sensitivitas tidak bisa dibentuk hanya dengan struktur dan prosedur, tetapi juga melalui pelatihan, budaya kerja yang empatik, dan kemauan untuk mendengar.
Bukan Hanya Amanat Konstitusi, Tapi Kebutuhan Mendesak
Sebagaimana ditegaskan oleh Menteri PPPA, kesetaraan gender bukan hanya amanat konstitusi, tetapi strategi untuk memastikan seluruh warga negara bisa menikmati hak dan peluang pembangunan secara setara.
"Langkah strategis Polri dalam membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) serta Direktorat Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) merupakan bukti nyata bahwa Polri tidak hanya melaksanakan tugas perlindungan hukum, tetapi juga mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam pelayanan publik," tegasnya.
Tugas kita bersama sebagai masyarakat sipil adalah memastikan bahwa langkah ini tidak berhenti di atas kertas. Butuh pengawasan, evaluasi, dan dorongan agar pelatihan gender menjadi agenda wajib di setiap jenjang kepolisian, serta adanya mekanisme pengaduan internal jika korban justru mendapat stigma atau perlakuan buruk saat melapor.
Momentum Hari Bhayangkara: Mendengar Lebih Banyak, Menghakimi Lebih Sedikit
Baca Juga: Kata Komnas Perempuan Soal Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak di Polri
Hari Bhayangkara semestinya bukan sekadar seremonial penghormatan pada institusi kepolisian, tetapi juga refleksi bersama, apakah masyarakat—terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak—sudah merasa aman dan terlindungi?
Polri tidak bekerja sendiri. Keberhasilan menciptakan rasa aman adalah hasil sinergi antara negara, masyarakat, dan lembaga pelindung lainnya. Namun, dalam skema perlindungan perempuan dan anak, Polri tetap menjadi garda depan yang sangat menentukan apakah korban akan mendapatkan keadilan atau malah kembali terlukai.
"Dengan implementasi PUG yang semakin kuat dan program-program strategis yang dirancang dengan visi besar Indonesia Emas 2045, saya percaya bahwa Indonesia yang setara dan berkeadilan akan dapat diwujudkan," ujar Menteri PPPA, menutup pidatonya.
Dan harapan itu, kami titipkan pula kepada Polri.
(*)