Parapuan.co - Setiap laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah jeritan yang meminta perlindungan, bukan sekadar penanganan hukum. Masyarakat, terutama perempuan, berharap institusi sebesar Kepolisian Republik Indonesia (Polri) bisa menjadi tempat pertama yang aman, bukan justru sumber rasa takut.
Di HUT Bhayangkara 2025 ini, keberadaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang diluncurkan pada semester kedua 2024 lalu menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi, namun tetap harus terus dikritisi dan senantiasa ditingkatkan kualitasnya.
Unit PPA yang berada di bawah fungsi Reserse Kriminal, secara khusus menangani kasus-kasus seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak, hingga perdagangan manusia. Mengutip laman resmi Polda DIY, yang membuat unit ini berbeda adalah pendekatannya yang mengedepankan pendekatan ramah korban, dengan memperhatikan aspek psikologis dan trauma korban.
Tidak hanya bekerja sendiri, Unit PPA juga bekerja sama dengan lembaga lain seperti rumah sakit daerah dan dinas sosial untuk menyediakan visum dan pendampingan psikologis gratis, sebuah upaya penting dalam pemulihan trauma korban.
Meski demikian, urgensi akan peningkatan sensitivitas gender di tubuh Polri tetap menjadi sorotan. Hal tersebut pernah disinggung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi saat menunjukkan apresiasi atas diluncurkannya Unit PPA di tubuh Polri beberapa waktu lalu.
"Saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kepolisian Republik Indonesia atas dedikasi dan kontribusinya dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia," ungkap Arifah Fauzi melansir laman resmi KemenPPPA.
Namun, data tetap bicara lebih keras dari apresiasi. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 mencatat 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.
Sementara itu, Survei Kekerasan terhadap Anak dan Remaja Nasional (SNPHAR) 2024 menunjukkan peningkatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Korban bukan sekadar statistik—mereka adalah individu yang hancur dan butuh pemulihan, bukan hanya penyelesaian hukum.
Komitmen Nyata atau Sekadar Administrasi?
Baca Juga: Upaya Polri Cegah Viktimisasi Perempuan dan Anak di Ranah Hukum