Parapuan.co - Di tengah pengaruh besar media dalam membentuk norma sosial dan budaya, peran media, khususnya media perempuan seperti PARAPUAN menjadi semakin penting, terutama dalam melawan stigma terhadap korban kekerasan seksual.
Representasi yang keliru atau bias dalam pemberitaan, film, iklan, hingga media sosial tak jarang memperkuat stereotip, menyudutkan korban, dan memperparah trauma. Oleh karenanya, media yang berpihak pada korban dan mengedepankan keadilan dapat menjadi sarana ampuh untuk mengubah narasi, stigma, dan membangun solidaritas.
Representasi Media Mempengaruhi Pandangan Sosial
Tak dapat dimungkiri media memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk cara kita melihat diri sendiri dan orang lain. Televisi, film, hingga media sosial secara tidak langsung mengatur standar sosial dan norma tentang bagaimana seseorang seharusnya tampil, bersikap, dan diperlakukan.
Melansir dari National Sexual Violence Resource Center (NSVRC), disebutkan bahwa banyak dari kita menyerap citra media sejak usia yang sangat muda, sehingga sering kali menganggapnya sebagai cerminan kenyataan, padahal media adalah konstruksi buatan manusia. Karena itulah, tayangan-tayangan yang menyajikan kekerasan seksual secara keliru atau bahkan meromantisasi hubungan yang tidak sehat cenderung diterima begitu saja oleh penonton, tanpa banyak pertanyaan kritis.
Misalnya, banyak tayangan memperlihatkan adegan pemaksaan atau pelecehan seksual seolah-olah itu bagian dari dinamika romantis, atau justru menghapus dampak psikologis dari peristiwa tersebut demi alur cerita. Representasi semacam ini tidak hanya menyesatkan penonton, tetapi juga menyakitkan bagi para penyintas.
Dampak Langsung terhadap Penyintas
Studi yang dikutip NSVRC menjelaskan bahwa media sering kali menampilkan mitos-mitos pemerkosaan atau menyalahkan korban secara implisit. Sandra Schwark, seorang peneliti yang melakukan studi tentang representasi visual kekerasan seksual di media berita daring menemukan bahwa representasi visual kekerasan seksual dalam berita online cenderung mengikuti pola yang sama, termasuk memperkuat mitos perkosaan dan menyalahkan korban (cara menggambarkan korban).
Profesor Heather L. Littleton, psikolog University of Colorado, Colorado Springs, mengungkapkan, "Perempuan yang mengalami kejadian yang secara hukum tergolong pemerkosaan justru menyebutnya sebagai kesalahpahaman, bukan kejahatan."
Baca Juga: Stigma terhadap Korban Kekerasan Seksual di Daerah Konflik, Luka yang Tak Terlihat
Ini terjadi karena media membentuk ekspektasi tidak realistis tentang seperti apa bentuk kekerasan seksual. Mayoritas penggambaran menunjukkan pelaku sebagai orang asing dan aksi yang sangat kekerasan, padahal dalam kenyataannya 90% pelaku adalah orang yang dikenal korban.
"Semakin pengalaman korban berbeda dengan naskah mental (‘rape script’) yang dibentuk media, semakin kecil kemungkinan mereka mengidentifikasi peristiwa itu sebagai kekerasan," tambah Littleton.
Media Perempuan: Agen Perubahan Sosial
Di sinilah media perempuan memiliki peran kunci. Media yang berpihak pada korban bisa membongkar mitos yang merugikan, membuka ruang cerita yang empatik, serta menyediakan narasi yang membebaskan dari stigma. Salah satunya dengan memberikan ruang kepada korban untuk bersuara tanpa takut disalahkan atau dinilai (dihakimi).
Lebih dari itu, media perempuan bisa membangun media literacy atau literasi media di kalangan pembacanya. Ini penting agar masyarakat, terutama perempuan muda, bisa membedakan mana tayangan atau informasi yang konstruktif dan mana yang sekadar mengulang stereotip patriarkal.
"Media literacy adalah kemampuan memahami bahwa media bisa membuat seseorang tampak berbahaya padahal tidak, membuat sesuatu tampak tidak berbahaya padahal itu sangat serius—seperti kekerasan seksual," jelas narasi dalam laporan.
Mendorong Representasi yang Inklusif dan Kritis
Langkah lain yang bisa dilakukan media perempuan adalah memperluas representasi—tidak hanya soal keberagaman identitas korban (termasuk laki-laki dan non-biner), tetapi juga memperkaya sudut pandang dalam membahas relasi kuasa, budaya patriarki, dan pentingnya konsen. Representasi yang akurat dan beragam membantu publik memahami bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan dalam berbagai bentuk.
Seperti diungkapkan peneliti Silvia Galdi (peneliti dan pengajar di University of Campania Luigi Vanvitelli, Italia), "Media yang mengobjektifikasi perempuan dengan menekankan pada kecantikan fisik dan kesiapan seksual, serta mereduksi mereka menjadi objek dekoratif dan seksual, merupakan faktor risiko yang mendorong pelecehan dan kekerasan seksual."
Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
Narasi yang Menguatkan, Bukan Menyudutkan
Dalam membangun masyarakat yang lebih adil gender dan bebas dari kekerasan, media perempuan memiliki tanggung jawab besar. Mereka bukan sekadar penyampai informasi, tetapi pembentuk nilai dan harapan sosial.
Dengan menghadirkan narasi yang sensitif, empatik, dan kritis terhadap kekuasaan patriarki, media perempuan bisa menjadi sekutu utama korban kekerasan seksual dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Sudah saatnya media tidak lagi menjadi cermin yang memantulkan bias, tetapi menjadi jendela untuk melihat dunia yang lebih setara dan manusiawi.
(*)