Parapuan.co - Beberapa waktu terakhir, kasus kekerasan seksual kembali mencuat bahkan melibatkan para figur panutan yang dianggap berpendidikan dan berintegritas di mata publik.
Misalnya kasus kekerasan seksual yang melibatkan guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berinisial EM. Ia terbukti bersalah atas perilaku kekerasan seksual terhadap 13 mahasiswi.
Akibat ulahnya, EM kini dipecat dan diberhentikan dari UGM. Sementara itu, modus yang dilakukan pelaku adalah dengan mengajak korban untuk melakukan bimbingan skripsi dan diskusi akademik di luar kampus termasuk di rumah pribadi dan pusat studi.
Bukan hanya itu, kasus kekerasan seksual juga pernah terjadi di pondok pesantren. AF, pimpinan pondok pesantren di Lombok, Nusa Tenggara Barat ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual.
AF melancarkan aksinya dengan dalih 'mensucikan rahim' puluhan santriwati. Aksi AF ini terkuak setelah para korban menyaksikan series Bidaah. Dalam serial tersebut, karakter Walid yang juga seorang pimpinan ponpes melakukan kekerasan seksual pada santrinya.
Menanggapi ini, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPPKPT) Universitas Airlangga (Unair) Prof Dra Myrtati Dyah Artaria menyebut kecenderungan pelaku dari kalangan figur panutan seperti pendidik sudah umum terjadi.
"Figur panutan menjadi pelaku kekerasan seksual itu kami sudah sadari sejak awal sehingga tidak heran bagi kami yang telah berkecimpung dalam isu ini," ujar Prof Myrta dikutip dari Kompas.com.
Adanya Pengaruh Relasi Kuasa yang Timpang
Prof Myrta juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual sering kali terikat dengan penyalahgunaan kekuasaan dan posisi. Contohnya, seseorang dengan kedudukan tinggi secara otomatis memiliki daya tarik tertentu sehingga membuat orang di sekitarnya merasa kagum dan ingin belajar darinya.
Baca Juga: Bagaimana Memastikan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi Tidak Terulang?