Jepang Catat Angka Kelahiran Terendah dalam Satu Abad, Apa Penyebabnya?

Saras Bening Sumunar - Kamis, 5 Juni 2025
Angka kelahiran di Jepang menurun dalam satu abad.
Angka kelahiran di Jepang menurun dalam satu abad. monzenmachi

Parapuan.co - Jumlah kelahiran di Jepang kembali mencetak rekor terendah, menambah kekhawatiran terhadap masa depan populasi negara tersebut. Berdasarkan data terbaru dari pemerintah Jepang, jumlah bayi yang lahir pada tahun 2024 hanya mencapai 686.061.

Jumlah tersebut menandakan adanya penurunan angka kelahiran mencapai 5,7 persen dibanding tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang paling rendah sejak pencatatan statistik dimulai pada tahun 1899, dan tidak termasuk bayi yang lahir dari warga asing.

Bukan hanya jumlah kelahiran yang menurun. Di saat bersamaan, jumlah kematian mengalami peningkatan menjadi 1,6 juta pada tahun 2024. Angka tersebut menunjukkan adanya kenaikan 1,9 persen dari tahun sebelumnya.

Penurunan Populasi yang Terus Berlanjut

Merujuk dari laman The Guardian, jumlah kelahiran dan angka kesuburan di Jepang mengalami penurunan selama sembilan tahun berturut-turut. Walaupun dalam periode yang sama jumlah pernikahan meningkat yakni mencapai 485.063 pasangan.

Tahun 2024 juga menandai penurunan signifikan lainnya. Jika di tahun 1949 angka kelahiran bayi mencapai 2,7 juta dalam setahun. Kini, angka kelahiran hanya sekitar seperempatnya saja.

Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin jika populasi di Jepang yang saat ini sekitar 124 juta jiwa diperkirakan akan turun menjadi 87 juta pada tahun 2070 dengan 40 persen di antara berusia 65 tahun atau lebih.

Dampak Serius bagi Ekonomi dan Keamanan Sosial

Populasi yang menyusut dan menua memiliki dampak serius terhadap ekonomi dan keamanan nasional. Jepang saat ini tengah berupaya meningkatkan kekuatan militernya sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi ancaman dari Cina dan Korea Utara.

Baca Juga: Periode Pasca-Kelahiran, Masa Penyesuaian Penting Bagi Ibu dan Bayi

Namun, hal ini menjadi tantangan besar jika jumlah penduduk usia produktif terus berkurang. Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyebutkan bahwa krisis demografis ini sebagai 'darurat sunyi'.

Fenomena ini akhirnya membuat pemerintah Jepang meluncurkan sejumlah kebijakan untuk mendorong angka kelahiran. Beberapa langkah tersebut termasuk:

- Perluasan tunjangan anak.

- Pendidikan gratis hingga jenjang SMA.

- Jaminan pasangan bisa mengambil cuti melahirkan.

- Menerima 100 persen gaji dari penghasilan bersih mereka.

Sebelumnya, mantan perdana menteri Fumio Kishida juga menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menyebut penurunan angka kelahiran yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah kematian sebagai ancaman untuk Jepang.

Tantangan Sosial dan Budaya

Meski berbagai upaya telah dilakukan, banyak yang menilai pendekatan pemerintah belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah dianggap terlalu fokus pada pasangan yang sudah menikah, padahal semakin banyak anak muda lajang yang enggan menikah.

Survei tahun 2023 oleh Nippon Foundation mengungkap hanya 16,5 persen remaja usia 17–19 tahun yakin mereka akan menikah. 

Alasan mereka beragam, mulai dari ketidakpastian pekerjaan, tingginya biaya hidup, hingga budaya kerja yang menyulitkan perempuan untuk menjalani peran ganda sebagai ibu dan pekerja.

Semua ini berkontribusi pada keputusan untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali, yang pada akhirnya memengaruhi angka kelahiran.

Baca Juga: QRIS Mulai Bisa Digunakan di Jepang dan China Mulai 17 Agustus 2025

(*)