Namun, hal ini menjadi tantangan besar jika jumlah penduduk usia produktif terus berkurang. Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyebutkan bahwa krisis demografis ini sebagai 'darurat sunyi'.
Fenomena ini akhirnya membuat pemerintah Jepang meluncurkan sejumlah kebijakan untuk mendorong angka kelahiran. Beberapa langkah tersebut termasuk:
- Perluasan tunjangan anak.
- Pendidikan gratis hingga jenjang SMA.
- Jaminan pasangan bisa mengambil cuti melahirkan.
- Menerima 100 persen gaji dari penghasilan bersih mereka.
Sebelumnya, mantan perdana menteri Fumio Kishida juga menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menyebut penurunan angka kelahiran yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah kematian sebagai ancaman untuk Jepang.
Tantangan Sosial dan Budaya
Meski berbagai upaya telah dilakukan, banyak yang menilai pendekatan pemerintah belum menyentuh akar persoalan. Pemerintah dianggap terlalu fokus pada pasangan yang sudah menikah, padahal semakin banyak anak muda lajang yang enggan menikah.
Survei tahun 2023 oleh Nippon Foundation mengungkap hanya 16,5 persen remaja usia 17–19 tahun yakin mereka akan menikah.
Alasan mereka beragam, mulai dari ketidakpastian pekerjaan, tingginya biaya hidup, hingga budaya kerja yang menyulitkan perempuan untuk menjalani peran ganda sebagai ibu dan pekerja.
Semua ini berkontribusi pada keputusan untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali, yang pada akhirnya memengaruhi angka kelahiran.
Baca Juga: QRIS Mulai Bisa Digunakan di Jepang dan China Mulai 17 Agustus 2025
(*)