Cerita 5 Pembela HAM Perempuan tentang Kampanye Kekerasan Seksual

Aulia Firafiroh - Selasa, 29 November 2022
5 Pembela HAM perempuan
5 Pembela HAM perempuan Dok. Narasumber

Parapuan.co- Kawan Puan pasti sudah tahu bahwa Indonesia kini memiliki peraturan yang mengatur permasalahan kekerasan seksual, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU-TPKS). UU TPKS yang akhirnya disahkan pada Selasa (12/4/2022) lalu ini, tentu ada karena perjuangan para perempuan dan penyintas kekerasan seksual.

Tak dapat disangkal jika pengesahan UU TPKS tidak terjadi hanya dalam waktu semalam. Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah dilakukan sejak 2012 dan masuk dalam Prolegnas di 2016 dan berlanjut pada Prolegnas 2020. Kombinasi antara ketidakadilan gender dan kekosongan hukum di Indonesia, menjadi cikal bakal lahirnya kampanye penghapusan kekerasan seksual yang lebih besar lagi di Indonesia.

Melihat masifnya Gerakan kampanye baik luring maupun daring, Tim Parapuan berkesempatan untuk mewawancarai lima orang Pembela HAM perempuan yaitu: Anindya Vivi, dari Jakarta Feminist inisiator dari Women’s March Jakarta, dan DEMAND; Poppy Dihardjo, pendiri @NoRecruitList dan Influenser; Neqy, pendiri @_perEMPUan_; Monica Devina, dari @dearcatcallers.id; dan Yona dari Samahita Bandung @samahita_bdg.  Berikut cerita mereka soal perjuangan mengenalkan narasi penghapusan kekerasan seksual kepada khalayak khususnya lewat media sosial:

Personal is Political

Terbentuknya aksi kampanye anti-kekerasan seksual lewat media sosial, didasari dengan adanya satu kesamaan dari kelima pembela HAM perempuan yang diwawancarai oleh Tim Parapuan, yaitu pengalaman pribadi mereka sebagai penyintas kekerasan seksual. Kelima Pembela HAM perempuan tersebut memahami betul bahwa menjadi perempuan di Indonesia, setidaknya pernah mengalami pelecehan seksual verbal, atau yang popular dikenal dengan catcalling.

Dorongan untuk memiliki wadah untuk belajar dan berbagi cerita sesama penyintas semakin menguat sejak kampanye #GerakBersama menjadi slogan resmi dari gerakan pengesahan UU TPKS. Jaringan #GerakBersama dibentuk pada tahun 2017 di Komnas Perempuan sebagai salah satu inisiasi dari 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP). Saat itu Komnas Perempuan mengajak Pembela HAM yang peduli pada isu kekerasan seksual untuk berkumpul dan merencanakan kampanye bersama. Di sanalah, awal pertemuan Pembela HAM perempuan ini mulai bergerilya di media sosial.


“Dulu aku nggak paham kalau catcalling adalah pelecehan seksual verbal yang sampai saat ini masih banyak terjadi. Oh ternyata ada loh istilah untuk sesuatu yang baru saja aku alami. dan itu pengalaman setiap perempuan, sering disiul-siulin,” ungkap perempuan yang akrab disapa Monde ini.

Melalui konten-konten edukasi tentang kekerasan seksual diharapkan menambah pengetahuan publik untuk mencegah kekerasan seksual terjadi, bahkan mendorong korban kekerasan seksual untuk sintas dan pulih dari traumanya. Poppy Dihardjo, penyintas dan influenser, melalui akun Instagram pribadinya @poppydihadjo ataupun #NoRecruiteList berharap korban kekerasan seksual pada akhirnya berani bercerita tentang traumanya dan tidak merasa sendiri.


“Aku berharap, saat teman-teman penyintas mendengarkan ceritaku, mereka tidak sendiri dan mereka juga bisa ikut menyuarakan juga apapun yang mereka alami," cerita Poppy.

Baca juga: Sosok Poppy Dihardjo, Pencetus Petisi Viral Nama Ibu Boleh Ditulis di Ijazah Anak

Menyambung Poppy, Anindya Vivi menyatakan bahwa perempuan di Indonesia masih merasa tabu untuk berbicara mengenai trauma dari kekerasan seksual yang dialami. Bahkan pada awalnya sebagian besar masyarakat Indonesia masih memandang kekerasan seksual bukanlah isu utama.


“Mungkin kalau secara personal, sebagai perempuan di Indonesia, kekerasan seksual sesuatu yang sangat jarang dibicarakan. Atau bahkan mungkin orang masih banyak yang menganggap remeh isu kekerasan seksual,” papar Vivi.


Hal personal inilah yang menjadi perjuangan politik para pembela HAM perempuan di media sosial. Selain itu, ada kebutuhan untuk bercerita sesama penyintas dan dorongan untuk mengarusutamakan isu kekerasan seksual di publik. Semakin publik memahami istilah-istilah di dalam lingkup kekerasan seksual, diharapkan semakin banyak orang yang tergerak untuk mencegah kekerasan seksual terjadi.

Buah Manis dari Kampanye Kekerasan Seksual Di Media Sosial

Sayangnya, fenomena berbagi trauma ini tidak diikuti dengan etika pendampingan yang baik. Yona dari Samahita Bandung, mengungkapkan bahwa kampanye edukasi organisasinya lebih kepada etika pendampingan terutama pada Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Menurutnya semakin banyak kasus yang terangkat di media sosial, semakin rentan pula penyintasnya. Masyarakat masih gemar untuk menyalahkan korban atau yang saat ini dikenal dengan victim blaming. Walaupun begitu, Yona optimis, dengan semakin banyak platform kampanye anti kekerasan seksual di ranah daring dapat mengurangi dampak buruk kepada penyintas yang berani bersuara.


“Dulu banyak banget yang victim blaming, tapi sekarang sudah kerasa banget berkurangnya,” ujar Yona.

Hal yang sama diutarakan Monica Devina, menurutnya perubahan cara pandang masyarakat tentang isu kekerasan seksual dapat dilihat dari respon masyarakat yang sudah berkurang untuk menyalahkan korban. Platform kampanye media sosial seolah menjadi alat perlawanan baru untuk mengkritik balik pihak-pihak yang dinilai tidak berperspektif korban.

“Respon-respon masyarakat yang awalnya menyalahkan korban, kini sudah mulai beragam, seperti menawarkan bantuan, memberikan dukungan, dan menawarkan informasi. Media Sosial juga dimanfaatkan untuk mengkritik pihak-pihak yang tidak sadar atas isu kekerasan seksual”, sambung Monica Devina.

Baca juga: Mengenal No Recruit List, Tempat Pengaduan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Tak berhenti di kampanye Media Sosial, menurut Vivi, upaya penyadaran masyarakat pada isu kekerasan seksual juga harus didukung oleh aksi kolektif dari berbagai Gerakan.

Women’s March Indonesia adalah pengejawantahan keberhasilan kampanye daring menjadi sebuah aksi kolektif. Tercatat sebanyak 700 orang lebih hadir, pada awal aksi Women’s March dilakukan di Jakarta di 4 Maret 2017, dan semakin banyak peserta aksi setiap tahunnya.


"Salah satu strategi kita mengkampanyekan isu kekerasan seksual adalah dengan membentuk Women’s March (Jakarta). Women’s March ini kan bentuknya kayak aksi, di mana tujuan utamanya adalah kita mencari dukungan untuk menyuarakan isu ini,” jelas Vivi.

Neqy, pendiri perEMPUan juga menuturkan bahwa masifnya kampanye anti kekerasan seksual tidak hanya menghasilkan legislasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, namun juga peluang untuk mengadakan pelatihan kepada sektor bisnis-transportasi untuk mencegah kekerasan seksual terjadi di ruang publik.

Organisasi perEMPUan menjadi bagian dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), yang mengeluarkan Survei Pelecehan di Ruang Publik di 2019. Survei itu diikuti oleh 62.224 orang responden dalam waktu 16 hari. Temuan perEMPUan bersama KRPA menghasilkan kampanye pelecehan di ruang publik yang ditayangkan pada Kereta Rel Listrik (KRL) di Jabodetabek.

Cara Mereka Mengarusutamakan Isu Kekerasan Seksual

Tak hanya didorong oleh urgensi pengesahan peraturan yang melindungi korban kekerasan seksual, kelima Pembela HAM perempuan ini dengan platformnya masing-masing merekonstruksi narasi baru. Di mana titik berat pada kampanye mereka ada pada pertanggungjawaban pelaku dan prioritas pada kebutuhan korban. Kampanye kekerasan seksual yang emosional dan cenderung dianggap sebagai topik berat, diulas dalam konten yang segar dengan menjawab miskonsepsi dan mitos di masyarakat tentang seksualitas.

“Sebelum mengajak publik untuk mendukung UU TPKS, kita cari tahu dulu penyebab masyarakat Indonesia enggan mendukung, oh ternyata ada miskonsepsi dan mitos, di sana kampanye kita masuk”, sambung Vivi.

Di sisi lain, Yona dengan Samahita, membuka ruang diskusi lebih luas tidak hanya pada kekerasan seksual, namun juga kesetaraan gender. Kampanye edukasi Samahita lebih kepada mengenalkan suatu istilah tertentu dalam feminisme atau isu kekerasan seksual.

Baca juga: 3 Tuntutan KOMPAKS atas Kasus Kekerasan Seksual dan Perundungan di KPI

“Inti kampanye Samahita itu sebenarnya bukan di kampanye Media Sosialnya ya, tapi lebih ke kampanye edukasi, karena kita banyak membahas soal isu yang jarang dibahas seperti (topik) transformative justice, rehabilitasi pelaku, atau feminisme 99 persen (diskusi mengulas buku),” lanjutnya

Berbeda dengan Yona yang mengulas pokok bahasan mengenai istilah-istilah di seputar isu kekerasan seksual, Poppy menawarkan kampanye yang lebih ringan dan relevan dengan kasus yang sedang hangat di masyarakat. Dalam membuat konten kampanye Media Sosialnya, Poppy banyak terinspirasi dari beberapa akun gosip. Dari akun-akun gosip itulah dirinya mulai mengaitkannya dengan isu kekerasan seksual. Contohnya berita tentang artis yang diduga melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau pun serial tv yang sarat akan kekerasan psikis dan seksual, semuanya bisa diformulasi menjadi kampanye anti kekerasan seksual di media sosial.

“Menarik nih! Aku sengaja follow akun-akun gosip dengan harapan mengetahui apa sih yang sedang terjadi di masyarakat saat ini, yang membuat masyarakat tertarik untuk berkomentar”, sebut Poppy dengan semangat.

Berdasarkan wawancara sebelumnya, kelima Pembela HAM perempuan ini menargetkan orang muda dan dewasa dengan rentang usia 18 sampai dengan 30 tahun. Pasalnya, orang muda dianggap lebih mengerti isu kekerasan seksual berhubung isu ini baru merebak naik di awal 2000-an. Walaupun tidak menutup kemungkinan kampanye mereka juga berdampak pada rentang umur di atas 30 tahun.

Konten Poppy dan Neqy misalnya, kampanyenya dapat dinikmati oleh semua umur. Kalaupun tidak, konten mereka selalu diawali dengan trigger warning (pemberitahuan bahwa konten yang disaksikan dapat memicu trauma).

Kampanye Kekerasan Seksual Setelah UU TPKS Disahkan

Disahkannya UU TPKS pada April lalu tentulah disambut dengan gegap gempita. Perjuangan masyarakat sipil selama bertahun-tahun akhirnya terbayarkan. Dengan hadirnya UU TPKS diharapkan akan menjadi cantolan hukum untuk pelindungan korban kekerasan seksual. Neqy mengungkapkan, walaupun UU telah lahir, tetapi perjuangan belum selesai. Implementasi dari UU harus tetap dikawal.

“UU yang sudah bagus secara dokumen ini, juga bagus secara pelaksanaannya, benar-benar memprioritaskan kebutuhan korban. Jadi menurutku, perjuangan sesungguhnya ya setelah UU ini disahkan," Ujar Neqy.

Menurut Neqy, tantangannya masih sama, yaitu politisasi dan komodifikasi isu kekerasan seksual. Pasalnya semakin kesini, isu kekerasan seksual dianggap sebagai isu yang sensitif, trendi dan layak menjadi berita. Tak heran jika hal itu membuat banyak orang yang berbicara isu kekerasan seksual bukan karena peduli, namun karena untuk komodifikasi kasus.

Menjawab tantangan itu Monde dan Vivi menyatakan hal yang sama yaitu perlu tetap menjalin solidaritas. Kerjasama yang dibangun selama mengawal UU TPKS akan terus dirawat, terutama berjejaring dengan daerah. Keterlibatan daerah dalam mengawal kampanye kekerasan seksual menjadi vital, karena pengalaman perempuan ataupun pengalaman penyintas di kota dan di daerah tentu berbeda.
Maka dari itu, Neqy dalam hal ini mengingatkan untuk terbuka pada potensi kolaborasi dengan berbagai pihak berdasarkan kesamaan nilai. Selain itu juga, Pembela HAM perempuan harus siap beradaptasi dengan banyaknya informasi dan teknologi yang cepat dan maju.

“Pertama, kemampuan dan kemauan berkoordinasi dan berkolaborasi dengan banyak orang. Kedua, keinginan untuk belajar dan menjadi fleksibel, kita harus bisa beradaptasi dengan kondisi serba online, kita juga harus bisa membuat konten yang menarik perhatian di tengah tsunami informasi,” papar Neqy.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kampanye publik yang dilakukan di Media Sosial menjadi hal yang vital dalam proses lahirnya UU-TPKS. Walaupun demikian diamini oleh kelima Pembela HAM perempuan ini, bahwa perjuangan belum selesai. Kecanggihan teknologi dapat menjadi peluang advokasi publik namun juga tantangan ke depan.

Kelima Pembela HAM perempuan ini hanyalah contoh dari banyak pejuang penghapusan kekerasan seksual yang memilih medan juang di Media Sosial. Hastag #GerakBersama di media sosial dan akan terus ada selama kekerasan seksual di Indonesia belum terhapuskan.

Artikel ini ditulis oleh Aulia Maghfiroh Editor Parapuan.co dan Riska Carolina, Spesialis Hukum Seksualitas yang juga ikut dalam pengembangan substansi dan kampanye UU TPKS. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh