Cerita 5 Pembela HAM Perempuan tentang Kampanye Kekerasan Seksual

Aulia Firafiroh - Selasa, 29 November 2022
5 Pembela HAM perempuan
5 Pembela HAM perempuan Dok. Narasumber

“Inti kampanye Samahita itu sebenarnya bukan di kampanye Media Sosialnya ya, tapi lebih ke kampanye edukasi, karena kita banyak membahas soal isu yang jarang dibahas seperti (topik) transformative justice, rehabilitasi pelaku, atau feminisme 99 persen (diskusi mengulas buku),” lanjutnya

Berbeda dengan Yona yang mengulas pokok bahasan mengenai istilah-istilah di seputar isu kekerasan seksual, Poppy menawarkan kampanye yang lebih ringan dan relevan dengan kasus yang sedang hangat di masyarakat. Dalam membuat konten kampanye Media Sosialnya, Poppy banyak terinspirasi dari beberapa akun gosip. Dari akun-akun gosip itulah dirinya mulai mengaitkannya dengan isu kekerasan seksual. Contohnya berita tentang artis yang diduga melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, atau pun serial tv yang sarat akan kekerasan psikis dan seksual, semuanya bisa diformulasi menjadi kampanye anti kekerasan seksual di media sosial.

“Menarik nih! Aku sengaja follow akun-akun gosip dengan harapan mengetahui apa sih yang sedang terjadi di masyarakat saat ini, yang membuat masyarakat tertarik untuk berkomentar”, sebut Poppy dengan semangat.

Berdasarkan wawancara sebelumnya, kelima Pembela HAM perempuan ini menargetkan orang muda dan dewasa dengan rentang usia 18 sampai dengan 30 tahun. Pasalnya, orang muda dianggap lebih mengerti isu kekerasan seksual berhubung isu ini baru merebak naik di awal 2000-an. Walaupun tidak menutup kemungkinan kampanye mereka juga berdampak pada rentang umur di atas 30 tahun.

Konten Poppy dan Neqy misalnya, kampanyenya dapat dinikmati oleh semua umur. Kalaupun tidak, konten mereka selalu diawali dengan trigger warning (pemberitahuan bahwa konten yang disaksikan dapat memicu trauma).

Kampanye Kekerasan Seksual Setelah UU TPKS Disahkan

Disahkannya UU TPKS pada April lalu tentulah disambut dengan gegap gempita. Perjuangan masyarakat sipil selama bertahun-tahun akhirnya terbayarkan. Dengan hadirnya UU TPKS diharapkan akan menjadi cantolan hukum untuk pelindungan korban kekerasan seksual. Neqy mengungkapkan, walaupun UU telah lahir, tetapi perjuangan belum selesai. Implementasi dari UU harus tetap dikawal.

“UU yang sudah bagus secara dokumen ini, juga bagus secara pelaksanaannya, benar-benar memprioritaskan kebutuhan korban. Jadi menurutku, perjuangan sesungguhnya ya setelah UU ini disahkan," Ujar Neqy.

Menurut Neqy, tantangannya masih sama, yaitu politisasi dan komodifikasi isu kekerasan seksual. Pasalnya semakin kesini, isu kekerasan seksual dianggap sebagai isu yang sensitif, trendi dan layak menjadi berita. Tak heran jika hal itu membuat banyak orang yang berbicara isu kekerasan seksual bukan karena peduli, namun karena untuk komodifikasi kasus.

Menjawab tantangan itu Monde dan Vivi menyatakan hal yang sama yaitu perlu tetap menjalin solidaritas. Kerjasama yang dibangun selama mengawal UU TPKS akan terus dirawat, terutama berjejaring dengan daerah. Keterlibatan daerah dalam mengawal kampanye kekerasan seksual menjadi vital, karena pengalaman perempuan ataupun pengalaman penyintas di kota dan di daerah tentu berbeda.
Maka dari itu, Neqy dalam hal ini mengingatkan untuk terbuka pada potensi kolaborasi dengan berbagai pihak berdasarkan kesamaan nilai. Selain itu juga, Pembela HAM perempuan harus siap beradaptasi dengan banyaknya informasi dan teknologi yang cepat dan maju.

“Pertama, kemampuan dan kemauan berkoordinasi dan berkolaborasi dengan banyak orang. Kedua, keinginan untuk belajar dan menjadi fleksibel, kita harus bisa beradaptasi dengan kondisi serba online, kita juga harus bisa membuat konten yang menarik perhatian di tengah tsunami informasi,” papar Neqy.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kampanye publik yang dilakukan di Media Sosial menjadi hal yang vital dalam proses lahirnya UU-TPKS. Walaupun demikian diamini oleh kelima Pembela HAM perempuan ini, bahwa perjuangan belum selesai. Kecanggihan teknologi dapat menjadi peluang advokasi publik namun juga tantangan ke depan.

Kelima Pembela HAM perempuan ini hanyalah contoh dari banyak pejuang penghapusan kekerasan seksual yang memilih medan juang di Media Sosial. Hastag #GerakBersama di media sosial dan akan terus ada selama kekerasan seksual di Indonesia belum terhapuskan.

Artikel ini ditulis oleh Aulia Maghfiroh Editor Parapuan.co dan Riska Carolina, Spesialis Hukum Seksualitas yang juga ikut dalam pengembangan substansi dan kampanye UU TPKS. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh