Cerita 5 Pembela HAM Perempuan tentang Kampanye Kekerasan Seksual

Aulia Firafiroh - Selasa, 29 November 2022
5 Pembela HAM perempuan
5 Pembela HAM perempuan Dok. Narasumber

Tak berhenti di kampanye Media Sosial, menurut Vivi, upaya penyadaran masyarakat pada isu kekerasan seksual juga harus didukung oleh aksi kolektif dari berbagai Gerakan.

Women’s March Indonesia adalah pengejawantahan keberhasilan kampanye daring menjadi sebuah aksi kolektif. Tercatat sebanyak 700 orang lebih hadir, pada awal aksi Women’s March dilakukan di Jakarta di 4 Maret 2017, dan semakin banyak peserta aksi setiap tahunnya.


"Salah satu strategi kita mengkampanyekan isu kekerasan seksual adalah dengan membentuk Women’s March (Jakarta). Women’s March ini kan bentuknya kayak aksi, di mana tujuan utamanya adalah kita mencari dukungan untuk menyuarakan isu ini,” jelas Vivi.

Neqy, pendiri perEMPUan juga menuturkan bahwa masifnya kampanye anti kekerasan seksual tidak hanya menghasilkan legislasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, namun juga peluang untuk mengadakan pelatihan kepada sektor bisnis-transportasi untuk mencegah kekerasan seksual terjadi di ruang publik.

Organisasi perEMPUan menjadi bagian dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), yang mengeluarkan Survei Pelecehan di Ruang Publik di 2019. Survei itu diikuti oleh 62.224 orang responden dalam waktu 16 hari. Temuan perEMPUan bersama KRPA menghasilkan kampanye pelecehan di ruang publik yang ditayangkan pada Kereta Rel Listrik (KRL) di Jabodetabek.

Cara Mereka Mengarusutamakan Isu Kekerasan Seksual

Tak hanya didorong oleh urgensi pengesahan peraturan yang melindungi korban kekerasan seksual, kelima Pembela HAM perempuan ini dengan platformnya masing-masing merekonstruksi narasi baru. Di mana titik berat pada kampanye mereka ada pada pertanggungjawaban pelaku dan prioritas pada kebutuhan korban. Kampanye kekerasan seksual yang emosional dan cenderung dianggap sebagai topik berat, diulas dalam konten yang segar dengan menjawab miskonsepsi dan mitos di masyarakat tentang seksualitas.

“Sebelum mengajak publik untuk mendukung UU TPKS, kita cari tahu dulu penyebab masyarakat Indonesia enggan mendukung, oh ternyata ada miskonsepsi dan mitos, di sana kampanye kita masuk”, sambung Vivi.

Di sisi lain, Yona dengan Samahita, membuka ruang diskusi lebih luas tidak hanya pada kekerasan seksual, namun juga kesetaraan gender. Kampanye edukasi Samahita lebih kepada mengenalkan suatu istilah tertentu dalam feminisme atau isu kekerasan seksual.

Baca juga: 3 Tuntutan KOMPAKS atas Kasus Kekerasan Seksual dan Perundungan di KPI

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh