Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Potret Perempuan dalam Realitas Wakanda pada Sekuel Black Panther

Anneila Firza Kadriyanti Jumat, 18 November 2022
Seperti apa potret perempuan dalam dunia film Black Panther: Wakanda Forever?
Seperti apa potret perempuan dalam dunia film Black Panther: Wakanda Forever? Dok. Disney Indonesia

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

 

Parapuan.co - Di tengah sesaknya cerita tentang pahlawan super yang menampilkan ke-macho-an dan supremasi laki-laki, saga Black Panther: Wakanda Forever menjadi film superhero pertama yang menampilkan perempuan dalam posisi powerful.

Maksud dari powerful di sini bukan sekedar memiliki kekuatan luar biasa layaknya seorang superhuman.

Melainkan juga mengedepankan perempuan pada posisi penguasa dalam strata sosial-politik-budaya yang di realitas dunia nyata hanya dicapai laki-laki.

Apa saja? Posisi memegang tampuk kepemimpinan sebuah negara adidaya, menjadi panglima angkatan bersenjata, sebagai ilmuwan paling jenius yang berhasil mengubah peradaban sebuah negara, hingga menjadi mata-mata paling lihai.

Realitas Wakanda menampilkan diversitas perempuan sekaligus memposisikan kedudukan mereka setara dengan laki-laki dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

Namun apabila mengacu pada laporan Gender Gap Report 2022 yang dirilis oleh World Economic Forum, dunia nyata masih membutuhkan waktu 132 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender seperti yang ditunjukkan dalam realitas Wakanda.

Baca Juga: Berbagai Langkah Tingkatkan Kesetaraan Gender di Dunia Kerja dari B20 WiBAC untuk G20

Gambaran Realitas Ketimpangan Gender

Merangkum dari United Nations (UN75: Women and Girls – Closing the Gender Gap), ada 3 faktor yang menyebabkan jurang ketimpangan gender masih besar, antara lain:

Pertama, adanya diskriminasi gender yang membatasi kemampuan perempuan dalam mengambil keputusan dan membuat pilihan yang terkait dengan hidup mereka.

Pilihan-pilihan hidup perempuan masih kerap ditentukan oleh pihak laki-laki, seperti keputusan untuk menikah, pilihan untuk bercerai, keinginan untuk bekerja bahkan memulai bisnis, hingga mendapatkan pendidikan.

Bahkan terkadang, keterbatasan perempuan ini semakin diperkuat lewat undang-undang yang memberikan akses dan izin untuk membelenggu pilihan-pilihan perempuan yang berkaitan dengan hidup mereka sendiri.

Seperti pembatasan pendidikan perempuan yang terjadi di Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban.

Rezim melarang perempuan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah lanjutan hingga melarang universitas mengajarkan beberapa mata kuliah tertentu kepada perempuan.

Indonesia sendiri menempati peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan pernikahan anak terbanyak.

Salah satu penyebab masih maraknya pernikahan usia dini disebabkan oleh desakan orang tua yang beranggapan bahwa menikah dapat melepaskan beban finansial orang tua, serta memberikan kebanggaan pada keluarga apabila perempuan dapat menikahi laki-laki kaya.

Baca Juga: Malala Yousafzai dan Para Aktivis Serukan Urgensi Pendidikan di Acara PBB

Faktor kedua yang menyebabkan ketimpangan gender adalah kurangnya pemanfaatan platform untuk mengakses informasi dan mengembangkan jejaring yang dapat mengakomodasi kepentingan perempuan.

Tingkat literasi digital perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki berkontribusi terhadap maraknya kekerasan terhadap perempuan.

Di mana seringkali perempuan tidak menyadari bahwa mereka telah dilecehkan ataupun bingung harus membagi dan melaporkan pengalaman mereka.

Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Kian Marak, Menurut Studi Ini 4 Faktornya

Unsur ketiga dan terakhir yang menyebabkan tingginya ketimpangan gender adalah keterbatasan bahkan pelarangan perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka.

Faktor terakhir ini bersifat sangat politis, sebab perempuan berusaha untuk membangun sebuah gerakan sipil dalam melawan dan menentang norma budaya patriarki yang melanggar hak asasi mereka sebagai manusia dalam berekspresi dan beropini sebagai perempuan.

Pasca kematian Mahsa Amini yang dilakukan oleh polisi moral Iran menyulut demonstrasi di negara tersebut yang menyebabkan ribuan perempuan melepaskan jilbab mereka sebagai bentuk protes terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh aparat.

Namun aksi ini ditanggapi dengan pemerintah yang menerapkan hukuman mati kepada pengunjuk rasa dan penangkapan hingga pembunuhan terhadap ratusan perempuan lain yang ikut berdemonstrasi melawan pengekangan perempuan oleh rezim pemerintahan Iran.

Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan

Rasisme yang Memperburuk Prasangka Gender

“To be young, gifted, and black though, right? They probably don’t say that in Wakanda.”

Penggalan kalimat tersebut merupakan cuplikan dari salah satu dialog dalam film Black Panther: Wakanda Forever yang diucapkan oleh karakter Riri Williams.

Riri seorang mahasiswi jenius yang menciptakan alat pendeteksi vibranium yang berpotensi membahayakan eksistensi Wakanda dan negeri bawah laut pimpinan Namor.

Kutipan tersebut menggambarkan realitas Wakanda yang tidak menganggap gender sebagai faktor yang menghambat individu untuk meraih potensi terbesar dalam dirinya.

Walaupun Wakanda masih berpegang teguh pada tradisi tribal yang menghormati ajaran nenek moyang, hal tersebut tidak menyebabkan Wakanda berhenti berinovasi dalam kemajuan teknologi modern.

Karakter Shuri (adik perempuan T’Challa, Black Panther -red.) sebagai perempuan pemimpin di bidang sains dan teknologi yang menyebabkan perubahan modern besar-besaran di Wakanda.

Baca Juga: Cerita Para Founder Startup Perempuan Soal Kendala di Industri Teknologi

Realitas perempuan di dunia nyata membatasi peran perempuan untuk mengembangkan potensi terbesarnya hanya karena prasangka gender yang senantiasa mengasosiasikan perempuan dengan kemampuan reproduksinya.

Prasangka ini kemudian mengedepankan peran perempuan terbatas pada pekerjaan yang berkenaan dengan persoalan domestik seperti merawat anak dan orang tua, mendidik, pemeliharaan tempat tinggal, dan urusan dapur.

Sedangkan pekerjaan yang membutuhkan advance skill sering dipercayakan kepada laki-laki seperti urusan memimpin, membuat peraturan dan mengambil keputusan, hingga mendapatkan akses yang seakan tanpa batas dalam beragam minat.

Bagi perempuan, prasangka terkait gender semakin diperparah dengan adanya sentimen negatif yang berkaitan dengan identitas ras.

Dalam perspektif global yang masih berkiblat pada tradisi Barat, privilege tertinggi hanya ada pada laki-laki kulit putih.

Baca Juga: Ini Kata Lupita Nyong'o Mengenai Perempuan Kulit Hitam di Industri Film Hollywood

Perempuan dengan ras tertentu seperti women of color (berkulit hitam), keturunan Asia, atau perempuan Latin akan semakin dianggap tidak relevan akibat identitas ras yang dinilai barbaric dan rendahan.

Tak urung perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan yang lebih parah akibat identitas ras yang melekat pada diri mereka.

Kerusuhan 1998 saat menjatuhkan rezim Orde Baru di Indonesia sekaligus pula menyulut prahara dan kejahatan HAM yang paling sadis terhadap perempuan, yakni pemerkosaan massal yang dialami oleh ratusan perempuan keturunan etnis Cina.

Sebab etnis Cina kerap dianggap sebagai penyebab morat-maritnya perekonomian Indonesia dan terbatasnya peluang pribumi.

Di Amerika Serikat, perempuan keturunan Asia sering dipandang sebagai objek seksual nan eksotis sehingga tidak signifikan untuk memiliki pekerjaan dengan level tinggi, apalagi berada dalam posisi pimpinan.

Masih begitu banyak tindakan diskriminasi gender yang dialami perempuan sehingga begitu panjang apabila dijabarkan satu per satu dalam tulisan ini.

Namun yang pasti, seiring dengan besarnya tekanan dan gerakan perempuan dalam menuntut keadilan gender, jurang ketidaksetaraan gender juga masih sangat lebar.

Baca Juga: Sitti VoB Sering Dapatkan Body Shaming, Menurut Riset Media Sosial Pengaruhi Hal Ini

Utopia dan Upaya Meraih Realitas Wakanda

Wakanda menjelma sebagai utopia bagi para perempuan, di mana cita-cita dan mimpi perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya dan terlepas dari prasangka gender dapat terpenuhi.

Wakanda pun menjadi tempat di mana perempuan dan laki-laki saling berdampingan dalam mengerjakan tugas, mulai dari tugas di sektor domestik, profesional, hingga menjalankan pemerintahan yang demokratis.

Realitas Wakanda dapat terpenuhi di dunia nyata apabila prasangka dan diskriminasi gender hilang.

Penempatan tugas perempuan tidak terbatas hanya pada sektor domestik yang diasosiasikan pada tugas dan fungsi reproduksi.

Perempuan memang memiliki kemampuan untuk hamil dan melahirkan, namun itu tidak ada pengaruhnya dengan kecerdasan, leadership, dan pembatasan kiprah perempuan di ruang publik.

Sementara itu, lelaki yang juga terlibat dalam urusan domestik ataupun memiliki kualitas feminin dalam dirinya tidak boleh dipandang rendah.

Ketimpangan gender setidaknya akan berkurang apabila perempuan dan laki-laki saling bahu-membahu dan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada satu dan yang lainnya untuk mengembangkan diri sesuai minat dan keinginan, terlepas dari apapun gendernya.

Dengan demikian, realitas utopis Wakanda setidaknya dapat mulai berjalan di dunia nyata.
Wakanda Forever! (*)