Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Potret Perempuan dalam Realitas Wakanda pada Sekuel Black Panther

Anneila Firza Kadriyanti Jumat, 18 November 2022
Seperti apa potret perempuan dalam dunia film Black Panther: Wakanda Forever?
Seperti apa potret perempuan dalam dunia film Black Panther: Wakanda Forever? Dok. Disney Indonesia

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Dalam perspektif global yang masih berkiblat pada tradisi Barat, privilege tertinggi hanya ada pada laki-laki kulit putih.

Baca Juga: Ini Kata Lupita Nyong'o Mengenai Perempuan Kulit Hitam di Industri Film Hollywood

Perempuan dengan ras tertentu seperti women of color (berkulit hitam), keturunan Asia, atau perempuan Latin akan semakin dianggap tidak relevan akibat identitas ras yang dinilai barbaric dan rendahan.

Tak urung perempuan mengalami pelecehan dan kekerasan yang lebih parah akibat identitas ras yang melekat pada diri mereka.

Kerusuhan 1998 saat menjatuhkan rezim Orde Baru di Indonesia sekaligus pula menyulut prahara dan kejahatan HAM yang paling sadis terhadap perempuan, yakni pemerkosaan massal yang dialami oleh ratusan perempuan keturunan etnis Cina.

Sebab etnis Cina kerap dianggap sebagai penyebab morat-maritnya perekonomian Indonesia dan terbatasnya peluang pribumi.

Di Amerika Serikat, perempuan keturunan Asia sering dipandang sebagai objek seksual nan eksotis sehingga tidak signifikan untuk memiliki pekerjaan dengan level tinggi, apalagi berada dalam posisi pimpinan.

Masih begitu banyak tindakan diskriminasi gender yang dialami perempuan sehingga begitu panjang apabila dijabarkan satu per satu dalam tulisan ini.

Namun yang pasti, seiring dengan besarnya tekanan dan gerakan perempuan dalam menuntut keadilan gender, jurang ketidaksetaraan gender juga masih sangat lebar.

Baca Juga: Sitti VoB Sering Dapatkan Body Shaming, Menurut Riset Media Sosial Pengaruhi Hal Ini

Utopia dan Upaya Meraih Realitas Wakanda

Wakanda menjelma sebagai utopia bagi para perempuan, di mana cita-cita dan mimpi perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya dan terlepas dari prasangka gender dapat terpenuhi.

Wakanda pun menjadi tempat di mana perempuan dan laki-laki saling berdampingan dalam mengerjakan tugas, mulai dari tugas di sektor domestik, profesional, hingga menjalankan pemerintahan yang demokratis.

Realitas Wakanda dapat terpenuhi di dunia nyata apabila prasangka dan diskriminasi gender hilang.

Penempatan tugas perempuan tidak terbatas hanya pada sektor domestik yang diasosiasikan pada tugas dan fungsi reproduksi.

Perempuan memang memiliki kemampuan untuk hamil dan melahirkan, namun itu tidak ada pengaruhnya dengan kecerdasan, leadership, dan pembatasan kiprah perempuan di ruang publik.

Sementara itu, lelaki yang juga terlibat dalam urusan domestik ataupun memiliki kualitas feminin dalam dirinya tidak boleh dipandang rendah.

Ketimpangan gender setidaknya akan berkurang apabila perempuan dan laki-laki saling bahu-membahu dan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada satu dan yang lainnya untuk mengembangkan diri sesuai minat dan keinginan, terlepas dari apapun gendernya.

Dengan demikian, realitas utopis Wakanda setidaknya dapat mulai berjalan di dunia nyata.
Wakanda Forever! (*)