Kekerasan Berbasis Gender Online Kian Marak, Menurut Studi Ini 4 Faktornya

Maharani Kusuma Daruwati - Selasa, 26 April 2022
Kekerasan berbasis gender online
Kekerasan berbasis gender online freepik

Parapuan.co -  Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) masih marak terjadi terutama di tengah pandemik Covid-19.

Studi terbaru dari Plan International yang melibatkan kaum muda perempuan berusia 15-24 tahun dari Indonesia, Vietnam dan Australia, bertajuk Future Online for Girls pada tahun 2021 menunjukkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender kian mengancam semenjak pandemik Covid-19 terjadi.

Berdasarkan studi ini KBGO masih sering terjadi karena empat faktor yaitu penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat di masa pandemik Covid-19, kurangnya dukungan dari para idola kaum muda di media sosial, masih banyak platform media sosial yang belum terlalu efektif digunakan dalam menangani kasus KBGO dengan baik, dan penerapan nilai budaya yang salah.

Sebagai bagian dari upaya merespons masih tingginya ancaman KBGO tersebut, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama mitra kaum muda melakukan serangkaian kampanye #BystanderTukRuangAman sejak bulan Maret 2022 hingga 20 April 2022 melalui dialog nasional bertajuk “Bekerja Sama Dalam Mewujudkan Ruang Digital Aman” sebagai puncak acara dari kampanye #BystanderTukRuangAman.

Webinar ini menghadirkan perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Plan Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), SAFEnet, BeWithYou Indonesia serta Kalis Mardiasih, Penulis dan Fasilitator Gender.

Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Plan Indonesia menyebutkan dalam riset Future Online, kami menemukan bahwa bystander atau saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut berlangsung, dapat berperan efektif dalam memutus rantai kekerasan di ranah digital.

"Sehingga dalam kampanye #BystanderTukRuangAman yang diluncurkan Plan Indonesia sejak Maret 2022, kami berupaya meningkatkan pemahaman dan kapasitas kaum muda serta influencers untuk menjadi bystander yang aktif di ranah daring," jelas Dini Widiastuti, seperti rilis yang diterima PARAPUAN

Dedy Permadi, Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, mengungkapkan bahwa studi Digital Civility Index oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong dengan risiko pelecehan seksual daring yang cukup tinggi, yaitu 42%.

“KBGO merupakan isu penting yang harus ditangani di Indonesia yang memiliki pengguna internet sebesar 204,7 juta orang. Kita harus menjaga ruang digital kita aman, sehat, dan produktif yang memerlukan kolaborasi lintas pihak,” ujar Dedy.

Baca Juga: Demi Hindari KBGO, Jangan Abaikan Pentingnya Perlindungan Privasi Online

Dalam dialog nasional ini, urgensi untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat dalam penghapusan KBGO menjadi topik utama. Melihat berbagai KBGO yang marak terjadi, Nazla Mariza, Influencing Director Plan Indonesia menyatakan, Plan Indonesia meyakini bahwa anak dan kaum muda perempuan harus bisa bebas berekspresi di media sosial mereka, tanpa perlu merasa takut akan ancaman-ancaman KBGO.

Sejak awal pandemi Covid-19 melalui berbagai kampanye bersama kaum muda dan berbagai riset, Plan Indonesia aktif menyuarakan ruang digital yang aman dan mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bersama-sama menciptakan ruang daring aman.

“Lebih penting lagi, kami juga mendorong kaum muda tidak hanya menyadari adanya KBGO, namun agar dapat menjadi bystander yang aktif dan berani mengambil tindakan,” imbuh Nazla.

Wujudkan Ruang Digital Aman

Berangkat dari berbagai permasalahan ini, kaum muda serta berbagai pembicara yang juga hadir dalam dialog nasional ini juga menyuarakan berbagai rekomendasi serta praktik-praktik baik yang perlu dilakukan untuk menghapuskan KBGO.

Beberapa diantaranya mencakup pentingnya pemerintah dalam mendorong adanya pendidikan literasi dan keamanan digital, implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang serius, dan kerja sama dari perusahaan media sosial dengan berbagai pihak terutama kaum muda.

Kalis Mardiasih, Penulis dan Fasilitator Gender, mengatakan, jumlah kasus KBGO sesungguhnya sangat tinggi.

Aduan-aduan yang masuk sudah sangat banyak seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat. Namun, sayangnya, aduan-aduan ini masih kejar-kejaran dengan proses pendampingan kasus dan perlindungan korbannya.

Baca Juga: Harus Apa Saat Kita Jadi Korban Kekerasan Berbasis Gender Online?

“Masalah lainnya terkait KBGO adalah ketika kita menjadi bystander aktif dan sedang memberikan dukungan, kita justru kerap menjadi korban KBGO berikutnya. Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi juga bagi bystander aktif tentang hal ini. Sehingga, penting untuk memitigasi dan memastikan pengguna media sosial siap untuk menghadapi tantangan sebagai bystander aktif,” tutur Kalis.

Diah Wulandari, S.Kom, M.Kom. Subkoordinator Perencanaan dan Tata Kelola, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengungkapkan, Kemendikbud telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi digital.

Beberapa di antaranya dilaksanakan melalui kerja sama dengan berbagai instansi dan membuat kurikulum terkait literasi digital.

“Selain itu, kami juga meningkatkan security awareness, agar pelajar tidak menjadi korban KBGO. Beberapa usulan lainnya yang kami berikan adalah program EduSiber yang bertujuan untuk meningkatkan security awareness” ungkap Diah.

“Kami pun meyakini bahwa penguatan pemahaman penggunaan platform digital terutama sosmed juga perlu dilakukan melalui penguatan peran guru dalam mewujudkan profil pelajar pancasila. Selain itu, dalam meningkatkan literasi digital dan cyber awareness, tentunya kaum muda perlu dilibatkan,” tambahnya. 

Genoveva Alicia, Peneliti ICJR mengungkapkan riset Kerangka Hukum KBGO yang mengungkapkan bahwa hukum yang ada saat ini belum mampu secara efektif melindungi pengguna media sosial dari KBGO.

“KBGO masih jadi isu yang sulit diatasi secara hukum. Fokus hukum saat ini terkait KBGO adalah terkait penghukuman. Namun, belum mencakup perlindungan korban secara maksimal. Harapan saya adalah UU TPKS dapat mengisi kekosongan terhadap perlindungan korban. Tanggung jawab terhadap perlindungan korban ini tidak hanya dimiliki negara, namun juga penyedia layanan digital dan masyarakat sipil. Sehingga, negara pun harus mampu mengatur perusahaan penyedia layanan digital agar patuh terhadap peraturan terkait pengentasan KBGO,” terangnya. 

Ellen Kusuma, Kasubdiv Digital – At Risks SAFEnet, menambahkan tentang berbagai kiat yang dapat dilakukan baik bystander maupun korban dalam melaporkan KBGO.

Menurut dia, kapasitas untuk mitigasi KBGO menjadi hal yang penting. Karena, walaupun bystander yang ada sudah memiliki niat baik, hal ini tidak cukup.

Baca Juga: Sexting dan 8 Jenis Kekerasan Berbasis Gender Online, Apa Itu?

Diperlukan wawasan yang baik untuk menangani KBGO. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mendiseminasi tentang intervensi yang bisa dilakukan oleh bystander ketika melihat ada KBGO.

“Karena kita perlu melatih insting sebagai bystander ketika mereka berhadapan dengan KBGO. Salah satu solusi untuk melakukan edukasi ini bisa dilakukan melalui intervensi kebijakan yang menciptakan kurikulum pendidikan di Indonesia agar dapat diperlakukan secara nasional,” kata Ellen.

Sebagai kaum muda, Aditya Hamdani, Co-Director PR Communications BeWithYou Indonesia, mengungkapkan pentingnya pelibatan kaum muda dalam penghapusan KBGO.

“Kaum muda memerlukan kapasitas ilmu dalam menjadi bystander active. Dalam membuat kurikulum perlu melibatkan kaum muda supaya tidak ada gap antara pemerintah, organisasi masyarakat dalam penanganan KBGO di Indonesia terutama dalam pembuatan kebijakan terkait KBGO,” kata Aditya.

 

“Saya sangat mengapresiasi seluruh pihak dan mitra kami yang telah bekerja mendukung kami dalam pelaksanaan kampanye #BystanderTukRuangAman, terutama dalam memastikan anak dan perempuan dapat terlindungi dari KBGO. Mari kita jaga media sosial kita agar menjadi aman,” tutup Dini Widiastuti.

(*)