Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Mempertimbangkan Kembali Cancel Culture sebagai Alat Pengatur Perilaku

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 12 November 2022
Pengamat komunikasi dan budaya digital ajak masyarakat mempertimbangkan kembali cancel culture sebagai alat pengatur perilaku.
Pengamat komunikasi dan budaya digital ajak masyarakat mempertimbangkan kembali cancel culture sebagai alat pengatur perilaku. Maria Bobrova

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Orang-orang ini, meminta selebritas, pelaku bisnis, dan para penguasa, untuk bertanggung jawab atas tindakan maupun kata-kata mereka. Baik yang terjadi baru-baru ini, maupun di masa lalu.

Dengan pengertian yang dikemukakan Shennan, tak hanya Ayu Ting Ting yang mengalami tindakan sosial ini.

Baca Juga: Menurut Pakar Berikut Ini Beberapa Bentuk Cancel Culture, Apa Saja?

Di luar negeri ada JK Rowling, Johnny Depp, Dave Chappelle, Will Smith, Jimmy Carr, Kanye West, Christ North, maupun lembaga kepolisian Amerika.

Cancel culture pada kepolisian Amerika berwujud sebagai Gerakan Black Lives Matter, yang dimulai tahun 2013.

Itu terjadi seiring tindakan brutal polisi yang kerap bertindak tak proporsional pada warga negara berkulit hitam di negara itu.

Kategori umum keluhan yang memunculkan ajakan cancel culture adalah munculnya pandangan seksis, rasis, maupun misoginis, oleh para pesohor itu.

Di Indonesia, cancel culture mengemuka saat menimpa Gofar Hilman, Nikita Mirzani, Deddy Corbuzier, Ardito Pramono, Saiful Jamil.

Sumber sanksi sosial itu, selain misoginis dan rasis, juga adanya tuduhan tindakan tak sopan bahkan asusila, maupun pelecehan seksual.

Manarik untuk melacak relasi masyarakat dengan perangkat digitalnya, sebagai pembangkit budaya cancel culture.