Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Menyingkap Pekerjaan yang Tak Terlihat Pada Perempuan di Era Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Jumat, 4 November 2022
Banyak pekerjaan perempuan sebagai ibu, pekerja, di era digital yang tak terlihat (invisible works), sehingga tak dianggap penting.
Banyak pekerjaan perempuan sebagai ibu, pekerja, di era digital yang tak terlihat (invisible works), sehingga tak dianggap penting. FangXiaNuo

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

 

Parapuan.co - Pandemi COVID-19, yang telah berlangsung hingga tahun ketiga hari ini, menyingkap banyak hal.

Yang memprihatinkan, selain derita kehilangan akibat kematian maupun efek jangka panjang virus yang enggan enyah dari tubuh sebagian penderitanya, juga ketakseimbangan kerja yang menimpa perempuan.

Ini terjadi di ranah domestik maupun publik.

(Bukan) Domestic Goddess

Di ranah domestik, selain perempuan dituntut tetap terlibat pada peran tradisionalnya, di masa pandemi porsi kerjanya ditambah.

Perempuan harus terlibat dalam proses pendidikan anak, lantaran pembelajaran beralih modus, ke school from home.

Semua perempuan yang punya anak usia sekolah, dipaksa berperan jadi guru. Bahkan guru di semua jenjang pendidikan.

Peran paksa itu terjadi, lantaran kehadiran guru yang lazimnya dilakukan secara tatap muka, tereduksi jadi sebatas citra di media pembalajaran online.

Sisanya jadi harus digantikan para orang tua, terutama para perempuan, para ibu, jika tak ingin anaknya tertinggal dalam proses belajar.

Tapi peran tradisional perempuan tetap harus dijalankan, mulai dari melahirkan, menyusui, mencermati kesehatan anak maupun anggota keluarga yang lain, memastikan asupan bergizi bagi keluarga, hingga kenyamanan dan kebersihan tempat tinggalnya.

Ini sering dikelompokkan sebagai kerja pengasuhan. Penting namun tak berbayar.

Baca Juga: 7 Tips WFH bagi Ibu Berkarier agar Nyaman Bekerja Walau Ada Anak

Tak berhenti sampai di situ, porsi pekerjaan tradisional dengan tambahan jadi guru dadakan, tak jarang diperparah ketika kaum perempuan juga dilibatkan dalam pekerjaan kantor pasangannya.

Sebagaimana sekolah, pandemi mengharuskan modus kerja beralih jadi work from home. Para perempuan “dipaksa” jadi sekretaris dadakan Sang Suami.

Cerita Nyata Si Lady Boss

Pada ranah publik, walau praktiknya selama masa pandemi sebagian besar waktu dihabiskan di rumah, tak jarang para perempuan yang berposisi sebagai pimpinan perusahaan terlibat dalam mengatasi efek buruk pandemi.

Efek ini sering dialami sesama perempuan.

Kawan Puan yang jadi pemimpin harus mengatur operasional perusahaan ketika bawahan perempuannya tak bisa melaksanakan aktivitas kerja.

Ini lantaran ada anggota keluarga sang bawahan yang tertular Covid-19. Hal yang juga memerlukan turun tangannya pemimpin perempuan, manakala bawahan perempuan itu harus berurusan dengan keperluan sekolah anaknya.

Pekerja ini harus absen dari kerja, memaksa pemimpin perempuan mengambil inisiatif mengatasi keadaan.

Ilustrasi di atas, relevan dengan uraian Marianne Cooper. Ini disusun berdasar riset, yang terkait peran pemimpin perempuan di masa pandemi.

Riset Cooper itu dimuat di Harvard Business Review, 2021 dengan judul, “Research: Women Leader Took on Even More Invisible Work During the Pandemic”.

Baca Juga: Hadapi Tantangan Berkarier, Maya Kamdani Ungkap Dukungan Keluarga Penting

Temuan diperoleh setelah Cooper melakukan survei pada 65.000 karyawan yang berasal lebih dari 400 perusahaan.

Didapati kenyataan bahwa perempuan yang terutama ada di jenjang pimpinan perusahaan, seringkali mengambil alih pekerjaan yang bersifat memperjuangkan keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas bagi sesama perempuan.

Inisiatif ini sangat sentral perannya, terutama di masa pandemi.

Namun sayangnya, untuk peran itu perusahaan cenderung tak menghargai yang dijalankan perempuan.

Pekerjaan-pekerjaan mengatasi efek pandemi, memang bukan tanggung jawab formal pemimpin perempuan.

Namun jika para lady boss ini tak mengambil inisiatif, perusahaan dapat masuk dalam situasi krisis yang merugikan perusahaan, terlebih di masa pandemi.

Hal yang dijalankan pemimpin perempuan itu dianggap penting, namun tak dianggap sebagai kerja yang diperhitungkan.

Ini merupakan terminologi yang diterjemahkan dari invisible works. Pekerjanya disebut invisible worker, para pekerja yang tak tampak.

Pekerjaan Tak Kasatmata

Adanya pekerjaan-pekerjaan yang terkategori sebagai invisible work, dan menempatkan perempuan sebagai pekerjanya, bukan merupakan kenyataan baru.

Baca Juga: 5 Tanda Perusahaan Tempatmu Bekerja Ramah Terhadap Pekerja Perempuan

Kenyataan itu terkuak oleh penelitian-penelitian berlatar ilmu sosial, jauh sebelum riset Cooper.

Tak jarang dari penelitian macam itu kemudian tersingkap, hanya jenis kelamin dan ras tertentu saja yang diakui sebagai pekerja dan pekerjaannya dianggap bernilai.

Sisanya tak disebut sebagai pekerjaan. Hasil kerja perempuan maupun ras nonkulit putih, tak dihitung sebagai pekerjaan.

Kenyataan adanya pekerjaan yang tak dihargai, secara runut diuraikan oleh Sosiolog Arlene Kaplan Daniels, di tahun 1987.

Dia menulis pada artikel “Invisible Work”, untuk menggambarkan adanya pekerjaan yang tak dibayar, tak diakui, dan karenanya tak ada regulasinya.

Pemikiran Daniels ini, merupakan bagian artikel Natasha Pinon, 2020 dengan judul, “Invisible Labor is Real, and it Hurts: What You Need to Know”.

Pinon menguraikan pikiran Daniels seraya memperluas uraiannya terkait pekerja yang terlibat: para perempuan yang menjalankan invisible work.

Pinon membuka tulisannya dengan kalimat menggugah, “Ini tak pernah ada dalam pikiran Anda, perempuan menjalani 3 dari 4 jam pekerjaannya, sebagai pekerja yang tak dibayar”.

Lebih lanjut Pinon menguraikan, bukan hanya ketakadilan yang tersingkap dengan adanya pekerja tak kasatmata ini.

Rasa sakit mendera, manakala akal sehat tiba pada jalinan kenyataan, peradaban ini memberikan bayaran untuk pekerjaan yang dianggap penting.

Baca Juga: Tanpa Disadari, Ini 6 Tanda Kamu Berperilaku Quiet Quitting di Kantor

Maka ketika ada jenis pekerjaan yang tak dibayar, itu menyiratkan bahwa pekerjaan dan pekerja yang tak terlihat itu, dianggap tak penting. Ini tentu hal yang menyakitkan.

Bukan hanya bagi perempuan, namun juga bagi yang mempercayai moralitas.

Pekerja Tak Tampak dan Era Digital

Apa relevansi pekerja tak tampak dengan zaman digital? Untuk menyingkap ini, dapat diikuti uraian, Peter Balonon-Rosen, 2018, pada artikelnya yang berjudul “How Women Landed the Invisible Work of Social Media Labor”.

Di salah satu bagian tulisannya, Balonon-Rosen menguraikan pekerja di bidang teknologi didominasi oleh laki-laki.

Namun kuantitas itu berbalik, ketika dalam kenyataannya 70-80% pekerjaan media sosial dilakukan perempuan.

Peran para perempuan ini dianggap penting, namun lagi-lagi tak memperoleh penghargaan yang memadai.

Hal itu terlihat dari imbalan yang diperoleh maupun karakteristik tak tampak dari pekerjaan yang dilakukan perempuan.

Laki-laki dihargai dan dibayar mahal di bidang teknologi, lantaran mereka mengembangkan dan membuat kode pengoperasian platform.

Sebaliknya, perempuan sangat jarang ditemui di bidang ini. Kalau pun terlibat, perempuan ditempatkan sebagai suara perusahaan.

@cerita_parapuan Pokoknya harus sampai mau???? #womenpower #contentcreator #sosmed ♬ original sound - abil bil bil bil

Ini utamanya pada bagian yang berurusan dengan pelanggan yang marah atau menangkal sikap agresif troll yang menyerang perusahaan.

Dalam situasi ini, pekerja perempuan menanggapinya dalam bentuk unggahan media sosial.

Ini semua bertujuan untuk membentuk citra perusahaan agar terlihat bersahabat bagi khalayak.

Seringkali pekerjaan ini dianggap bisa dilakukan siapa saja, karenanya tak dianggap penting.

Hal yang dikerjakan pekerja perempuan dengan media sosial, jadi tak tampak.

Modus lain memanfaatkan perempuan sebagai pekerja tak tampak adalah dalam relasi produksi, distribusi, dan konsumsi unggahan media sosial.

Intensitas penggunaan media sosial kelompok perempuan, yang jauh lebih tinggi dibanding laki-laki, merupakan tambang data yang subur bagi pengembang platform.

Produksi dan distribusi unggahan media sosial perempuan dipanen sebagai bahan analisis karakteristik dan perilaku perempuan.

Hasilnya adalah data yang laku jadi komoditas dagangan pengembang platform, kepada pengiklan.

Oleh para pengiklan, data itu dimanfaatkan untuk menyusun iklan tertarget yang konsumennya, tak lain, para perempuan itu sendiri.

Baca Juga: Cerita Para Founder Startup Perempuan Soal Kendala di Industri Teknologi

Sedangkan dari perilaku konsumsi media sosial perempuan, dihasilkan screen time interaksi perempuan dengan platform ini.

Screen time yang durasinya dipancing oleh pengembang platform agar senantiasa terus bertambah, merupakan kesempatan yang digunakan untuk mempertontonkan iklan.

Makin panjang makin baik. Iklan yang terpapar makin banyak. Itu artinya keuntungan ekonomi bagi pengembang platform.

Apakah perempuan mendapat imbalan untuk pekerjaan penting yang menopang kehidupan platform? Ya. Dalam bentuk penggunaan akun media sosial secara gratis.

Akun itu dapat diisi apa saja, dan dapat digunakan untuk memperoleh informasi apa saja. Tapi adakah imbalan langsung dari pekerjaannya? Nihil.

Jaron Larnier, 2020, menyusun kalimat tepat untuk keadaan ini: Jika Anda mendapat platform secara gratis, itu artinya Andalah komoditas yang dijual pengembang platform.

Maka pertanyaannya, masih sukakah Kawan Puan jadi invisible workers, pekerja tak kasatmata? (*)