Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Menyingkap Pekerjaan yang Tak Terlihat Pada Perempuan di Era Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Jumat, 4 November 2022
Banyak pekerjaan perempuan sebagai ibu, pekerja, di era digital yang tak terlihat (invisible works), sehingga tak dianggap penting.
Banyak pekerjaan perempuan sebagai ibu, pekerja, di era digital yang tak terlihat (invisible works), sehingga tak dianggap penting. FangXiaNuo

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Pinon menguraikan pikiran Daniels seraya memperluas uraiannya terkait pekerja yang terlibat: para perempuan yang menjalankan invisible work.

Pinon membuka tulisannya dengan kalimat menggugah, “Ini tak pernah ada dalam pikiran Anda, perempuan menjalani 3 dari 4 jam pekerjaannya, sebagai pekerja yang tak dibayar”.

Lebih lanjut Pinon menguraikan, bukan hanya ketakadilan yang tersingkap dengan adanya pekerja tak kasatmata ini.

Rasa sakit mendera, manakala akal sehat tiba pada jalinan kenyataan, peradaban ini memberikan bayaran untuk pekerjaan yang dianggap penting.

Baca Juga: Tanpa Disadari, Ini 6 Tanda Kamu Berperilaku Quiet Quitting di Kantor

Maka ketika ada jenis pekerjaan yang tak dibayar, itu menyiratkan bahwa pekerjaan dan pekerja yang tak terlihat itu, dianggap tak penting. Ini tentu hal yang menyakitkan.

Bukan hanya bagi perempuan, namun juga bagi yang mempercayai moralitas.

Pekerja Tak Tampak dan Era Digital

Apa relevansi pekerja tak tampak dengan zaman digital? Untuk menyingkap ini, dapat diikuti uraian, Peter Balonon-Rosen, 2018, pada artikelnya yang berjudul “How Women Landed the Invisible Work of Social Media Labor”.

Di salah satu bagian tulisannya, Balonon-Rosen menguraikan pekerja di bidang teknologi didominasi oleh laki-laki.

Namun kuantitas itu berbalik, ketika dalam kenyataannya 70-80% pekerjaan media sosial dilakukan perempuan.

Peran para perempuan ini dianggap penting, namun lagi-lagi tak memperoleh penghargaan yang memadai.

Hal itu terlihat dari imbalan yang diperoleh maupun karakteristik tak tampak dari pekerjaan yang dilakukan perempuan.

Laki-laki dihargai dan dibayar mahal di bidang teknologi, lantaran mereka mengembangkan dan membuat kode pengoperasian platform.

Sebaliknya, perempuan sangat jarang ditemui di bidang ini. Kalau pun terlibat, perempuan ditempatkan sebagai suara perusahaan.

@cerita_parapuan Pokoknya harus sampai mau???? #womenpower #contentcreator #sosmed ♬ original sound - abil bil bil bil

Ini utamanya pada bagian yang berurusan dengan pelanggan yang marah atau menangkal sikap agresif troll yang menyerang perusahaan.

Dalam situasi ini, pekerja perempuan menanggapinya dalam bentuk unggahan media sosial.

Ini semua bertujuan untuk membentuk citra perusahaan agar terlihat bersahabat bagi khalayak.

Seringkali pekerjaan ini dianggap bisa dilakukan siapa saja, karenanya tak dianggap penting.

Hal yang dikerjakan pekerja perempuan dengan media sosial, jadi tak tampak.

Modus lain memanfaatkan perempuan sebagai pekerja tak tampak adalah dalam relasi produksi, distribusi, dan konsumsi unggahan media sosial.

Intensitas penggunaan media sosial kelompok perempuan, yang jauh lebih tinggi dibanding laki-laki, merupakan tambang data yang subur bagi pengembang platform.

Produksi dan distribusi unggahan media sosial perempuan dipanen sebagai bahan analisis karakteristik dan perilaku perempuan.

Hasilnya adalah data yang laku jadi komoditas dagangan pengembang platform, kepada pengiklan.

Oleh para pengiklan, data itu dimanfaatkan untuk menyusun iklan tertarget yang konsumennya, tak lain, para perempuan itu sendiri.

Baca Juga: Cerita Para Founder Startup Perempuan Soal Kendala di Industri Teknologi

Sedangkan dari perilaku konsumsi media sosial perempuan, dihasilkan screen time interaksi perempuan dengan platform ini.

Screen time yang durasinya dipancing oleh pengembang platform agar senantiasa terus bertambah, merupakan kesempatan yang digunakan untuk mempertontonkan iklan.

Makin panjang makin baik. Iklan yang terpapar makin banyak. Itu artinya keuntungan ekonomi bagi pengembang platform.

Apakah perempuan mendapat imbalan untuk pekerjaan penting yang menopang kehidupan platform? Ya. Dalam bentuk penggunaan akun media sosial secara gratis.

Akun itu dapat diisi apa saja, dan dapat digunakan untuk memperoleh informasi apa saja. Tapi adakah imbalan langsung dari pekerjaannya? Nihil.

Jaron Larnier, 2020, menyusun kalimat tepat untuk keadaan ini: Jika Anda mendapat platform secara gratis, itu artinya Andalah komoditas yang dijual pengembang platform.

Maka pertanyaannya, masih sukakah Kawan Puan jadi invisible workers, pekerja tak kasatmata? (*)