Khawatir Pencemaran Lingkungan, Dua Mahasiswi Prasmul Inisiatif Manajemen Sampah Makanan

Firdhayanti - Minggu, 18 September 2022
Ethelind B. Santoso (paling tengah) dan pembicara lain tampil dalam FWTF mempresentasikan inovasi tentang solusi problem food waste.
Ethelind B. Santoso (paling tengah) dan pembicara lain tampil dalam FWTF mempresentasikan inovasi tentang solusi problem food waste. Dok. Prasmul

 

Parapuan.co - Kawan Puan, ternyata sampah organik juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Adapun salah satu dari sampah organik itu adalah sampah makanan atau food waste. 

Sampah makanan merupakan makanan siap konsumsi yang terbuang begitu saja. 

Makanan ini kini menjadi mengkhawatirkan dan memicu masalah besar di bagi dunia. 

Direktur Riset dan Inovasi, Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Stevanus Wisnu Wijaya mengungkapkan sampah makanan yang membusuk di tempat pembuangan akhir merupakan sumber pencemaran dan perusakan lingkungan.

"Karena sampah tersebut menghasilkan bau dan gas metana yang dapat merusak lapisan ozon,” ujar dia dalam keterangan pers yang diterima PARAPUAN. 

Bappenas memperkirakan, emisi dari sampah jenis ini mencapai 1.702,9 metrik ton ekuivalen karbon dioksida. Jumlah ini setara dengan 7,29 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.

Bahaya sampah makanan pun mendorong Universitas Prasetiya Mulya (Prasmul) bersama sejumlah kampus di dalam dan luar negeri berkolaborasi membentuk sebuah konsorsium proyek bernama In2Food.

Konsorium ini terdiri dari Universitas Prasetiya Mulya, Universitas Katolik Parahyangan, Binus University, Universitas Pembangunan Jaya, Universitas Ma Chung, Ghent University, Tampere University, dan Hotelschool The Hague. 

Baca Juga: Siswa Bangkit Buat Aplikasi TeDi, Teknologi untuk Kemudahan Difabel

“Konsorsium ini menjadi wadah untuk mengembangkan kolaborasi, inisiatif, dan ide dari berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan aneka solusi bagi masalah sampah makanan,” kata dia. 

Tahun ini, konsorsium In2Food menggelar rangkaian acara untuk menjaring berbagai ide dan inisiatif manajemen sampah makanan.

Acara yang digelar di Bali pada Agustus lalu itu diikuti oleh puluhan peserta dari universitas anggota konsorsium.

“Konsorsium In2Food merupakan proyek kolaborasi antardisiplin ilmu dari sejumlah kampus yang didanai oleh Erasmus+ CBHE Program Uni Eropa sejak 2021. Sejak tahun lalu kami telah menggelar berbagai seminar dan penelitian terkait masalah sampah makanan,” kata Wisnu.

Tahun ini, kegiatan yang diadakan In2Food banyak melibatkan mahasiswa, sepeti International Student Conference, International Summer School di mana mahasiswa mendapatkan beasiswa penuh dari Erasmus+ CBHE Program Uni Eropa.

Dalam konsorsium tersebut setiap kampus datang dengan keunggulan masing-masing.

Universitas Prasetiya Mulya sendiri mengunggulkan bidang teknologi digital.

Secara internal, Prasetiya Mulya sendiri sejak 2019 telah memperbarui sejumlah mata kuliah di kampus dengan memasukkan sudut pandang food waste management.

“Sehingga kurikulum kami align dengan program bersama konsorsium," ujar Wisnu. 

Baca Juga: Digelar hingga November 2022, Ini 6 Perbedaan ANBK dan Ujian Nasional

Dua Mahasiswi Prasmul Buat Inisiatif Manajemen Sampah Makanan 

Dalam perhelatan Food Waste to Finish (FWTF) Summer School Program yang dihelat pada 14-27 Agustus, Universitas Prasetiya Mulya mengirimkan lima mahasiswa perwakilan untuk beradu konsep dan merancang kolaborasi dengan peserta dari kampus lain.

Kelima mahasiswa terpilih tersebut, menurut Wisnu, sebelumnya telah mengikuti seleksi di internal kampus dan berasal dari latar bidang ilmu yang berbeda.

Salah satu konsep usulan dari mahasiswi Prasmul mendapat usulan terbaik. Ia adalah Ni Putu Mas Swandewi dari Program Studi Software Engineering yang membuat aplikasi bernama Ibu Foodies. 

Aplikasi ini bisa membantu para ibu untuk mencatat dan merencanakan belanja mereka.

Di dalamnya terdapat teknologi artificial intelligence atau kecerdasan buatan yang berguna untuk memindai aneka jenis sayur yang dibeli pengguna.

"Nantinya aplikasi mobile ini dapat menentukan usia sayur tersebut, sehingga pengguna tidak akan membiarkan bahan makanannya membusuk dan menjadi sampah," ujar Swandewi. 

Pada acara FWTF, konsep Swandewi pun dikembangkan menjadi sebuah platform edukasi sosial, terutama bagi para ibu-ibu untuk mengenal bahan makanan yang mereka beli. 

Swan memaparkan, ia mengajak para peserta untuk memanfaatkan sisa sayuran yang terbuang untuk ditanam kembali dalam acara Turn That Vaggie Waste Into Delicious Taste.

Baca Juga: Agar Hasilnya Baik, Ini 3 Tips Jitu Menghadapi Penilaian Tengah Semester

“Kami spesifik memilih segmen ibu-ibu karena kami menganggap mereka punya kekuatan untuk jadi agen perubahan khususnya jika menyasar food waste dalam skala rumah tangga,” ujar Swandewi. 

Ia juga menggandeng Komunitas Ibu Pembelajar Indonesia untuk melakukan program edukasi. 

Ni Putu Mas Swandewi (paling kiri) bersama tim dari berbagai negara, meraih Best Food Waste Solution dalam FWTF di Bali melalui aplikasi Ibu Foodies.
Ni Putu Mas Swandewi (paling kiri) bersama tim dari berbagai negara, meraih Best Food Waste Solution dalam FWTF di Bali melalui aplikasi Ibu Foodies. Dok. Prasmul

Sementara itu, mahasiswa dari Program Studi Ekonomi Bisnis Ethelind B. Santoso bersama tim menghadirkan konsep No Action Too Small.

Mirip dengan konsep pengelolaan sampah makanan Swandewi, kali ini Ethelind menyasar para pelaku usaha kecil dan pedagang kaki lima.

Kepada para pelaku usaha, Ethelind menyampaikan informasi pentingnya pengelolaan sampah makanan serta menumbuhkan tanaman dari sampah tersebut. 

 “Selain rumah tangga, penjual makanan juga menjadi kontributor sampah sisa makanan terbesar di Indonesia. Melalui program ini kami berharap dapat memberikan informasi dan mengajak mereka untuk mengubah perilaku dalam menangani sampah makanan," kata Ethelind.

Dalam praktiknya,Ethelind kerap menemui hambatan saat disampaikan kepada target mereka.

“Karena isu sampah makanan masih dianggap asing terutama di kalangan para penjual makanan," katanya. 

Baca Juga: Perkuat Ekosistem Startup, Google dan Impactto Beri Pelatihan Startup

Namun Ethelind cukup optimistis, konsep ini ke depannya dapat dikembangkan menjadi platform edukasi yang bisa menjangkau masyarakat lebih luas.

Di sisi lain, Ethelind juga mengembangkan konsep baru untuk mengurangi potensi sampah makanan, yakni Bazar Holtikultura.

Bazar tersebut dilakukan untuk menjual sayur-mayur atau buah-buahan, yang biasanya dibuang oleh toko dan pedagang di pasar karena dianggap sudah terlalu matang dan penampilannya tidak menarik dengan harga murah meriah.

Konsep ini rencananya akan ia kembangkan berkolaborasi dengan jaringan retail atau toko-toko yang menjajakan sayur dan buah segar dan rutin diadakan di toko-toko.

Kendati tak murni berupa ide bisnis,Wisnu Wijaya mengatakan hal ini tetap potensial untuk dikembangkan dan direalisasikan di kemudian hari.

“Bagi para mahasiswa, ide-ide ini pun selalu diselaraskan dengan kurikulum yang diajarkan dan mereka dapat mengembangkan idenya menjadi tugas akhir," ujar dia. 

Setelah sukses menggelar rangkaian acara tingkat internasional bagi para mahasiswa kampus anggota konsorsium In2Food,  konsorsium juga akan mengadakan kegiatan serupa dengan sasaran peserta lebih luas pada Februari 2023. 

Penulis:
Editor: Dinia Adrianjara