Review Film Penyalin Cahaya: Jalan Berliku Korban Kekerasan Seksual di Bawah Relasi Kuasa

Alessandra Langit - Minggu, 30 Januari 2022
Review atau ulasan film Penyalin Cahaya karya Wregas Bhanuteja yang tayang di Netflix.
Review atau ulasan film Penyalin Cahaya karya Wregas Bhanuteja yang tayang di Netflix. Rekata Studio/Kaninga Pictures

Parapuan.co - Kawan Puan, apakah kamu ingat dengan slogan dari kampanye anti demam berdarah?

Ya, kata-kata "menguras, menutup, mengubur" mungkin familiar bagi masyarakat Indonesia, termasuk Kawan Puan.

Slogan tersebutlah yang diangkat oleh sutradara Wregas Bhanuteja secara simbolis dalam film Penyalin Cahaya untuk menggambarkan fenomena kekerasan seksual di Indonesia yang kerap kali dikubur dalam-dalam.

Penyalin Cahaya adalah film panjang pertama dari Wregas yang karyanya sudah kita kenal berkenlana ke berbagai festival film bergengsi internasional.

Film ini dibuka dengan euforia kemenangan teater kampus Mata Hari, kelompok kegiatan mahasiswa yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan.

Sur (Shenina Cinnamon) adalah mahasiswa Ilmu Komputer yang mengemban tugas sebagai perancang website dari teater Mata Hari.

Sebagai mahasiswa baru, Sur melihat teater Mata Hari adalah ruang aman yang menghargai dan mengapresiasi kontribusi dari Sur.

Merayakan kemenangan tersebut, Sur diundang untuk mengikuti pesta teater Mata Hari di kediaman Rama (Giulio Parengkuan), penulis naskah teater yang kaya raya dan berkarisma.

Tumbuh di keluarga muslim yang taat, Sur tidak pernah mengonsumsi alkohol, bahkan ayahnya melarang keras Sur untuk menikmati minuman keras.

Baca Juga: Film Penyalin Cahaya Masuk Daftar Netflix Top 10 dan Populer di 26 Negara

Peer pressure menjadi dorongan Sur untuk akhirnya meneguk segelas minuman keras saat mata patung Medusa menunjuknya di sebuah permainan yang dipimpim Thariq (Jerome Kurnia), pimpinan produksi teater Mata Hari.

Senyum bangga dan bahagia Sur terhadap sekelompok "keluarga" ini pun berubah ketika ia terbangun dari pesta dan mendapati beasiswanya dicabut.

Foto Sur saat mabuk tersebar di media sosial, membuat pihak kampus merasa bahwa Sur tidak pantas menjadi penerima beasiswa.

Di bawah tekanan orang tua yang konservatif, Sur harus mengingat-ingat kembali apa yang terjadi padanya di malam pesta itu.

Bersama amarah dan kekecewaan yang ia bawa, Sur menemui Anggun (Dea Panendra), sutradara teater Mata Hari, untuk menanyakan apa yang terjadi.

Petunjuk demi petunjuk tak membuahkan hasil, memantik rasa frustrasi Sur untuk menemui Amin (Chicco Kurniawan), teman masa kecilnya yang bekerja sebagai tukang fotokopi di kampusnya.

Petualangan menegangkan yang dibalut dengan sinematografi teatrikal dan music scoring yang intens pun dimulai.

Bukti dari masalah yang dihadapi Sur ini perlahan mengerucut ke tindak kekerasan seksual yang ternyata dialami Sur saat ia tak sadarkan diri.

Penyalin Cahaya menaruh penonton pada sepatu korban kekerasan seksual, melihat dan merasakan secara keseluruhan trauma korban.

Baca Juga: Penyalin Cahaya Borong 17 Nominasi FFI 2021, Shenina dan Wregas Ungkapkan Rasa Syukur

Wregas Bhanuteja dengan lantang menampilkan bagaimana lingkungan pendidikan dan agama memandang korban kekerasan seksual.

Salah sangka korban yang terus menduga-duga juga akhirnya menyudutkan korban sendiri dalam lingkungan sosial.

Ketika jejak-jejak pelaku sudah mulai terungkap, Sur harus berada di bawah injakan relasi kuasa dari sosok pelaku dengan payung pelindung yang punya kendali penuh atas sistem.

"Tolong pak, maafkan anak saya, pak," bunyi dialog Ayah Sur (Lukman Sardi) yang berlutut di kaki orang tua pelaku.

Dengan tegas Penyalin Cahaya memotret realita di mana para korban kekerasan seksual dan keluarganya akhirnya harus dibungkam dengan ancaman, uang, dan jalur hukum.

Jalur hukum dalam film ini terlihat sangat tidak berpihak pada keadilan dan menjadi bumerang bagi korban kekerasan seksual.

Tak hanya itu, Penyalin Cahaya juga menyoroti kondisi ekonomi terkadang menjadi alasan orang-orang melakukan tindak kekerasan seksual.

Hal itu terungkap saat Amin, sahabat Sur sendiri, ternyata juga terlibat dalam transaksi digital yang termasuk dalam tindakan kekerasan seksual.

Alasan terbesar Amin adalah uang, biaya untuk makan sehari-hari Amin yang terbatas membuatnya harus mengorbankan moral demi sesuap nasi.

Baca Juga: Cerita Shenina Cinnamon dan Wregas Bhanuteja Karantina di Korsel untuk Film Penyalin Cahaya

Perlahan-lahan, keluarga dan sahabat Sur sendiri menunjukkan keberpihakan mereka yang sayangnya tidak ada yang di sisi korban.

Dalam setiap bingkai film, Wregas Bhanuteja dan tim menempatkan Sur dalam ruang-ruang sempit; eksterior kampus yang terisolasi, ruang sidang beasiswa yang gelap, kamar Amin yang sempit, dan ruang fotokopi yang membuat pengunjung berdesakan.

Tanpa ada penuturan langsung, penonton dapat menangkap bagaimana gerak korban kekerasan seksual selalu dibatasi oleh banyak pihak, sadar atau tidak sadar.

Ketika jalan korban untuk memperjuangkan keadilan dipersempit, siapa yang akhirnya akan percaya dengan korban?

Kehadiran Farah (Lutesha) dan Thariq, yang juga adalah korban kekerasan seksual, menjadi jawaban atas pertanyaan di atas.

Secara berani, Penyalin Cahaya juga menegaskan bahwa korban kekerasan seksual tidak selalu perempuan.

Kehadiran Thariq sebagai korban adalah representasi laki-laki korban kekerasan seksual yang seringkali traumanya tak divalidasi.

Merasakan sakit dan trauma yang sama dengan Sur, Farah dan Thariq ikut mencari keadilan dan mendorong hukuman sebesar-besarnya bagi pelaku.

Baca Juga: Angkat Isu Kekerasan Seksual, Wregas Bhanuteja Ungkap Proses Kreatif Film Penyalin Cahaya

Mungkin itu juga alasan Wregas Bhanuteja membuat penonton berada di posisi korban dalam keseluruhan film ini.

Penonton diajak merasakan hal yang sama dengan korban kekerasan seksual dan menumbuhkan empati.

Film ini ditutup dengan lembaran fotokopi yang menjadi simbol suara korban kekerasan seksual.

Bukti demi bukti diperbanyak dan suara korban digaungkan, layaknya pesan berantai di media sosial.

Penyalin Cahaya ditutup dengan realita kelam korban kekerasan seksual yang hanya punya satu sama lain untuk memperjuangkan keadilan.

Hukum yang lemah dan relasi kuasa yang kuat membuat sanksi sosial menjadi satu-satunya cara yang dipilih korban kekerasan seksual untuk menghukum pelaku.

Walau pahit, ending film ini menunjukkan penyintas kekerasan seksual yang berdaya.

Penyalin Cahaya adalah gambaran korban kekerasan seksual yang dibungkam, namun masih kuat berjuang untuk mewujudkan keadilan.

Seperti mesin fotokopi dan bunyi tato dari karakter Farah: "Di dalam kegelapan, kami memutuskan untuk tetap bekerja."

Baca Juga: Raih Lagu Tema Terbaik, Mian Tiara Dedikasikan Piala Citra untuk Penyintas Kekerasan Seksual

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria