Ramai Kasus NWR, Ahli Pidana Sebut UU Perkosaan Masih Merugikan Korban

Firdhayanti - Selasa, 7 Desember 2021
Perkosaan menurut sudut pandang hukum.
Perkosaan menurut sudut pandang hukum. Freepik

Parapuan.co - Belum lama ini, ramai dibicarakan kasus Novia Widyasari, mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang yang mengakhiri hidupnya di pusara mendiang ayahnya, pemakaman Dusun Sugihan, Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto pada Kamis (2/12/2021).

Ia bunuh diri karena depresi usai dipaksa aborsi oleh mantan kekasihnya, Bripda Randy Bagus Hari Sasongko.

Kasus ini viral di Twitter dalam sebuah utas yang ditulis oleh salah seorang warganet.

Baca Juga: Berkaca dari Kasus NWR, Bagaimana Cara Menghadapi Keluarga yang Tidak Berpihak pada Kita?

Warganet menyebut Novia hamil karena diduga diperkosa oleh Randy.

Disebutkan Novia pernah diajak oleh Randy ke penginapannya.

Saat viral di Twitter, berbagai tagar seperti #SAVENOVIWIDYASARI bermunculan.

Tak hanya itu, kata DIPERKOSA juga muncul dalam trending topic Twitter.

Berdasarkan tindak lanjut hukum, Randy telah ditahan untuk kepentingan penyidikan.

Randy sebelumnya terancam Pasal 348 Juncto 55 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Randy juga dijerat Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik serta dijerat Pasal 7 dan Pasal 11.

Hukuman terberat dari pasal ini, Randy terancam mendapatkan Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) alias dipecat.

Meskipun begitu, banyak yang mendorong Polri menyelidiki dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Randy.

Lantas, bagaimana perkosaan dari sudut pandang hukum?

Baca Juga: Bahas Kasus Novia Widyasari, Tantri Kotak Beri Pesan untuk Perempuan

 

Perkosaan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Pasal 285 KUHP.

Adapun pasal tersebut berbunyi barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Ahli Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Lucky Endrawati S.H., M.H. mengatakan bahwa pasal ini masih merugikan korban.

"Uraian detail Pasal 285 KUHP sangat jelas tidak berpihak pada kepentingan korban, karena hanya ditekankan pada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, yang tidak dapat menggambarkan detail perbuatan yang masuk dalam kategori unsur tersebut," kata Lucky saat dihubungi PARAPUAN pada Senin (6/12/2021).

Hal ini dipengaruhi oleh status KUHP sebagai warisan kolonial Belanda.

Peraturan tersebut dibuat berdasarkan perspektif kepentingan Belanda saat itu.

Lucky menjelaskan bahwa tidak ada definisi kata 'kekerasan' dalam KUHP.

"Dalam Pasal 89 KUHP hanya dikatakan bahwa dipersamakan dengan melakukan kekerasan, yaitu perbuatan membuat dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya," jelas Lucky.

"Dengan demikian, yang ditentukan dalam pasal 89 KUHP adalah perluasan dari pengertian melakukan kekerasan," sambungnya.

Hal ini termasuk dalam pengertian dengan kekerasan pada pasal 285 KUHP.

Dalam pasal ini, kekerasan adalah membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

"Pingsan atau tidak berdaya itu adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku," paparnya.

Jika pelaku membubuhkan obat tidur dengan kadar tinggi ke dalam minuman hingga yang bersangkutan tidak sadarkan diri pun termasuk dalam kekerasan.

Karena tidak adanya definisi dengan kekerasan pada KUHP, penulis hukum pidana mengacu pada buku karya S.R Sianturi.

Baca Juga: Komnas Perempuan Akui NWR Pernah Melapor Kekerasan Seksual yang Dialami

Menurut S.R. Sianturi, yang dimaksud dengan kekerasan, adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan yang dikerasi.

Adapun beberapa contoh dikemukakan tentang kekerasan. 

Contoh seperti tertuang pada Putusan Pengadilan Negeri Poso No.27/Pid/1971 tanggal 11 Nopember 71 (Vide Law Report 1973 hal.50), antara lain ialah menarik sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu didimasukkan kemaluan si pria tersebut.

Mengenai ancaman kekerasan, S.R. Sianturi menulis yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan.

Berdasarkan buku karya Prof. Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu berarti atau setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.

Sementara itu, penjelasan tentang ancaman kekerasan tidak tertuang dalam arrest-arrest dari Hoge Raad.

"Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ancaman dengan kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan," terangnya Lucky.

Baca Juga: Penting! Psikiater Ungkap Kenapa Depresi Sering Dikaitkan dengan Bunuh Diri

Selain itu, kata 'wanita' dalam UU 285 KUHP ini mengharuskan korban adalah seorang perempuan dari segala usia. 

"Unsur ini juga menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana perkosaan haruslah seorang laki-laki karena hanya laki-laki yang dapat melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan," kata Lucky. 

Dalam hal ini, korban tak melulu perempuan. Laki-laki dan lainnya bisa menjadi korban. 

Karena kurang menggambarkan perbuatan secara detail, seringkali korban mengalami kerugian. 

(*)