17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan?

Arintha Widya - Rabu, 3 September 2025
17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan?
17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan? Instagram bintangemon

Kemudian, BTI 2024 dalam Indonesia Country Report 2024 menambahkan adanya “informal veto players” seperti militer yang bisa memengaruhi isu-isu sensitif di luar mekanisme formal.

Akibatnya, meskipun tuntutan publik terlihat realistis, jalan menuju realisasi harus melewati banyak gerbang kepentingan. Partai-partai dalam koalisi besar sering kali lebih sibuk mempertahankan stabilitas politik ketimbang mendorong agenda reformis. Birokrasi pun kerap menambahkan lapisan prosedur yang membuat partisipasi publik sebatas formalitas.

Antara Partisipasi dan Hasil

Dalam sebuah Laporan International IDEA menunjukkan paradoks: skor partisipasi masyarakat Indonesia relatif tinggi, tetapi indikator efektivitas parlemen dan kepastian pelaksanaan kebijakan justru menurun. Hal ini berarti, partisipasi memang difasilitasi, namun tidak selalu berbuah kebijakan yang sesuai aspirasi.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 juga menegaskan pentingnya “partisipasi yang bermakna” (meaningful participation), bukan sekadar prosedural. Artinya, dialog dengan publik harus memberi pengaruh nyata terhadap keputusan akhir. Sayangnya, dalam banyak kasus, standar ini belum sepenuhnya tercapai.

Realistis, Tapi Tidak Mudah

Dari sudut pandang kebijakan, sebagian besar 17+8 Tuntutan Rakyat memang realistis. Reformasi kepolisian, transparansi anggaran, hingga peningkatan kesejahteraan sosial bukanlah hal yang mustahil. Banyak di antaranya sudah tercantum dalam regulasi maupun rencana pembangunan jangka menengah pemerintah.

Namun, hambatan politik, birokrasi, dan keberadaan veto players membuat tuntutan itu sulit diwujudkan cepat. Dalam praktiknya, tuntutan publik sering diproses secara parsial, dikompromikan, atau bahkan “didinginkan” hingga momentum politiknya hilang.

Seperti seruan Kantor HAM PBB (OHCHR) yang menekankan perlunya “restraint and dialogue” serta investigasi yang “prompt, thorough, and transparent”, kuncinya memang ada pada kemauan politik. Tanpa keberanian pemerintah untuk membuka dialog bermakna, aspirasi publik akan terus terjebak di antara realitas hukum yang memungkinkan dan kenyataan politik yang menghambat.

Semoga kita segera mendapatkan kabar baik dari berbagai tuntutan yang ada.

Baca Juga: Rangkuman 17+8 Tuntutan Rakyat dengan Deadline 5 September 2025

(*)

Penulis:
Editor: Arintha Widya