17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan?

Arintha Widya - Rabu, 3 September 2025
17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan?
17+8 Tuntutan Rakyat, Realistis Tapi Kenapa Sulit Direalisasikan? Instagram bintangemon

Parapuan.co - Gelombang unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota Indonesia belakangan ini melahirkan “17+8 Tuntutan Rakyat”. Deretan desakan tersebut mencakup isu-isu yang sangat mendasar: dari penghentian kekerasan aparat, reformasi lembaga kepolisian, keterbukaan anggaran, hingga perbaikan kesejahteraan.

Jika dilihat sepintas, banyak di antara tuntutan itu tergolong realistis—bahkan sudah menjadi amanat undang-undang. Namun, mengapa realisasinya justru tampak terasa berat? Dengan deadline 5 September 2025, mengapa hingga 3 September belum ada tanggapan dari pemerintah mengenai setidaknya salah satu dari 17 tuntutan jangka pendek?

Tuntutan Rakyat Sudah Masuk Akal

Figur publik seperti influencer, buruh, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil akhirnya mencapai rumusan 17 tuntutan mendesak ditambah 8 jangka panjang. Sebagian besar berkaitan langsung dengan hak dasar warga negara: perlindungan dari kekerasan, keadilan hukum, kesejahteraan sosial, hingga tata kelola yang transparan.

Secara hukum, pintu untuk menyalurkan aspirasi publik sudah ada. Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memuat pasal mengenai partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan regulasi.

Organisasi internasional seperti OECD melalui Regulatory Reform Review of Indonesia juga menekankan bahwa Indonesia"perlu menginstitusionalisasi konsultasi publik secara sistematis dan memastikan evaluasi kebijakan bersifat independen", agar suara masyarakat benar-benar didengar.  

Selain itu, jalur musyawarah perencanaan pembangunan hingga mekanisme participatory budgeting (penganggaran partisipatif) juga dirancang untuk menyerap tuntutan publik menjadi prioritas program dan alokasi dana. Dengan kerangka ini, tidak berlebihan jika masyarakat berharap 17+8 Tuntutan Rakyat bisa masuk ke meja kebijakan.

Hambatan Struktural dan Politik

Namun, realitas politik Indonesia membuat proses itu tidak semudah teorinya. Penelitian ODI (Overseas Development Institute) dalam "The political economy of policy-making in Indonesia" dan DFAT mengingatkan bahwa parlemen Indonesia dipenuhi “veto players”—aktor politik yang bisa memperlambat, mengurangi substansi, atau bahkan memblokir usulan kebijakan.

Baca Juga: Imbas Demo, Komdigi Beri Tanggapan Hilangnya Fitur TikTok Live

Penulis:
Editor: Arintha Widya