Tantangan Peneliti Perempuan, Perjuangan untuk Berkarya dan Diakui

Saras Bening Sumunar - Rabu, 27 Agustus 2025
Tantangan Anggia Prasetyoputri sebagai peneliti perempuan.
Tantangan Anggia Prasetyoputri sebagai peneliti perempuan. Instagram/anggia_prasetyoputri

Parapuan.co - Menjadi seorang peneliti di Indonesia bukanlah hal mudah, terlebih ketika kamu adalah seorang perempuan yang harus menavigasi berbagai tuntutan profesional sekaligus beban sosial dan kultural pada identitasmu.

Dunia penelitian identik dengan persaingan ketat, tuntutan produktivitas tinggi, serta mobilitas yang seringkali tidak terhindarkan, memberikan tantangan tersendiri bagi perempuan apabila ingin diakui setara dengan laki-laki di bidang serupa. 

Dalam wawancara eksklusif bersama PARAPUAN pada Sabtu (16/8/2025), Anggia Prasetyoputri membagikan refleksi personalnya tentang bagaimana realitas ini membentuk perjalanan karier para peneliti perempuan, serta hambatan-hambatan yang kerap tidak terlihat namun nyata memengaruhi perkembangan mereka.

Kawan Puan, Anggia Prasetyoputri adalah seorang peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebelum meniti karier, Anggia terlebih dulu menempuh pendidikan S1 Biologi di Universitas Indonesia.

Tak berhenti disitu, Anggia Prasetyoputri kemudian melanjutkan studi untuk jenjang S2 dan S3-nya. Ia berhasil menempuh studi S2 di University of Melbourne dan melanjutkan S3 di University of Queensland, Brisbane. Keduanya melalui beasiswa prestisius Australia Awards.

Tantangan Anggia Prasetyoputri sebagai Peneliti Perempuan

Menurut Anggia, tantangan terbesar yang dihadapi perempuan di dunia penelitian Indonesia adalah bagaimana kamu harus terus-menerus membuktikan kapasitas agar pantas diakui sebagai peneliti yang setara dengan laki-laki.

Meskipun tantangan ini tidak berbeda jauh dengan bidang karier lain, kenyataannya beban kerja yang dihadapi perempuan seringkali lebih berat. Bagaimana tidak, kita dituntut bekerja jauh lebih keras hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sama.

"Kalau dari pengalaman saya, dan beberapa teman saya, salah satu tantangan adalah membuktikan kalau kita pantas. Kita itu pantas diakui atas kapasitas kita sebagai peneliti," ujar Anggia.

Baca Juga: Peneliti BRIN Anggia Prasetyoputri Sebut Pentingnya Support System bagi Perempuan Karier

Anggia juga menambahkan bahwa untuk 'diakui' dan dianggap setara dengan laki-laki, perempuan harus bekerja lebih keras. Ia menambahkan bahwa "Kita (peneliti perempuan) juga harus bekerja lebih keras biar bisa dianggap setara dengan laki-laki di profesi yang sama."

Selain itu, terdapat pula tantangan unik yang bersumber dari peran ganda perempuan, khususnya ketika berstatus sebagai ibu dan istri.

"Tidak dimungkiri, perempuan itu memiliki beberapa tantangan unik. Misalnya bagi yang sudah berkeluarga, kapasitasnya sebagai ibu dan seorang peneliti itu tidak mudah," terangnya.

Anggia menekankan bahwa menyeimbangkan peran sebagai peneliti sekaligus ibu bukanlah hal sederhana, bahkan menurutnya keseimbangan itu hampir mustahil untuk benar-benar tercapai.

Ada kalanya kamu harus memilih dan memprioritaskan salah satu peran, dan hal tersebut wajar adanya. Namun, kondisi inilah yang membuat banyak perempuan peneliti merasa karier mereka berjalan lebih lambat dibanding laki-laki.

Lebih jauh, Anggia juga menyinggung adanya tantangan sistemik yang memperumit perjalanan perempuan dalam dunia penelitian. Perempuan yang bekerja sebagai seorang peneliti tidak hanya membutuhkan pengakuan, tetapi juga dukungan konkret agar bisa berkembang.

Tanpa adanya dukungan tersebut, banyak peneliti perempuan yang terpaksa membatalkan kesempatan berharga seperti menjadi pembicara seminar atau menghadiri pertemuan ilmiah. Bukan karena mereka tidak pantas, melainkan karena kondisi mereka tidak memungkinkan untuk meninggalkan keluarga.

Situasi ini mencerminkan bahwa hambatan perempuan dalam penelitian bukan sekadar persoalan kapasitas individu, melainkan terkait dengan struktur sosial dan dukungan institusional yang masih kurang memadai.

Hal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan seorang peneliti perempuan dalam menapaki jenjang karier, yang kerap kali lebih lambat dibanding rekan laki-laki.

Baca Juga: Bergelut dengan Owa Jawa dan Hutan, Ini Cara Rahayu Oktaviani Atasi Kejenuhan

(*)