"Apakah Aku Sudah Jadi Ibu yang Baik?"
Pertanyaan tersebut, menurut buku Aku Tetap Diriku Walaupun Sudah Menjadi Orang Tua, adalah salah satu beban mental terbesar para ibu. Tidak peduli latar belakang atau pengalamannya, setiap ibu pernah mempertanyakan kualitas dirinya. Namun, penulis mengingatkan bahwa kata “baik” memiliki arti yang berbeda bagi setiap keluarga.
Seiring bertambahnya usia anak, cara kita memandang peran sebagai ibu pun ikut berubah. Apa yang dulu kita anggap penting, mungkin tak lagi relevan, dan sebaliknya. Proses bertumbuh ini tak hanya terjadi pada anak, tetapi juga pada kita sebagai orang tua.
Buku ini mengajak kita untuk menghargai perjalanan itu. Kita tak perlu menunggu menjadi “sempurna” untuk merasa cukup. Karena yang dibutuhkan anak bukanlah ibu yang tak pernah salah, melainkan ibu yang mau belajar dan berkembang bersamanya.
Mengenang Cara Orang Tua Kita Mengasuh
Salah satu bagian yang paling menyentuh dari buku ini adalah ketika pembaca diajak mengingat masa kecilnya sendiri. Kita kembali pada momen-momen bersama orang tua, entah itu penuh kehangatan atau justru meninggalkan luka.
Kenangan-kenangan ini membuka ruang untuk refleksi: apa yang ingin kita wariskan pada anak, dan apa yang ingin kita ubah.
Buku ini tidak menyalahkan generasi sebelumnya, melainkan mengajak kita memahami bahwa pola asuh selalu dipengaruhi oleh zaman, pengetahuan, dan kondisi hidup orang tua saat itu. Dengan pemahaman ini, kita bisa mengasuh anak dengan cara yang lebih sadar dan penuh empati.
Penulis menekankan bahwa kita memiliki kesempatan untuk memutus siklus pola asuh yang kurang sehat. Hal-hal yang dulu membuat kita sedih bisa diperbaiki dalam hubungan kita dengan anak. Di situlah letak kekuatan generasi baru orang tua.